Bandung– Gelombang ekonomi global kembali menghantam industri ekspor Indonesia. Jawa Barat, sebagai jantung manufaktur dan ekspor nasional, kini menghadapi ancaman nyata akibat kebijakan tarif baru Amerika Serikat.
Dalam diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi” yang digelar oleh Suara.com dan Core Indonesia di El Hotel Bandung, para pemangku kepentingan berkumpul untuk membedah krisis ini dan mencari solusi konkrit dari tingkat daerah hingga nasional.
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menegaskan bahwa dampak krisis ini terasa semakin nyata.
“Kita tidak bisa mengabaikan perlambatan ekonomi yang terjadi. Bandung menjadi episentrum ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini mengalami tekanan berat. Ini adalah momen krusial bagi daerah untuk merumuskan strategi yang dapat menjadi acuan kebijakan nasional,” ujarnya.
Kondisi semakin diperburuk dengan gelombang PHK massal di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Persaingan dengan produk impor yang semakin deras, serta tekanan dari tarif baru AS, berpotensi menekan industri dalam negeri hingga dua kali lipat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., mengungkapkan bahwa perang dagang AS-Tiongkok telah memicu pergeseran besar dalam perdagangan internasional.
Dengan ekspor Tiongkok ke AS turun 10,5% dan ekspor ke ASEAN naik 19,1%, Indonesia perlu bersiap menghadapi perubahan lanskap ekonomi yang bisa merugikan industri lokal.
Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, memperingatkan bahwa dunia usaha tengah menghadapi tekanan berlapis.
“Para pengusaha kini dihantui ketidakpastian usaha dan regulasi yang tumpang tindih. Dari proses perizinan yang berbelit, aksi demo berkepanjangan, hingga pungutan liar yang semakin merajalela. Di sektor logistik, biaya tidak resmi membuat usaha kita tidak kompetitif. Kami butuh kepastian, perlindungan yang adil, dan kebijakan yang konsisten!” tegasnya.
Namun, di tengah krisis ini, juga terdapat peluang besar. Relokasi industri otomotif ke Jawa Barat menjadi sinyal positif bagi penguatan ekonomi daerah. Basis manufaktur Jawa Barat yang mencakup otomotif, elektronik, tekstil, plastik, mineral non-logam, agro-pangan, dan farmasi bisa menjadi fondasi kuat untuk membangun daya saing industri yang berkelanjutan.
Strategi utama untuk menghadapi tantangan ini adalah pengendalian arus impor dan peningkatan komponen lokal. Verifikasi impor telah terbukti berhasil di sektor kosmetik, baja, dan semen. Sementara itu, skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) telah menghasilkan lonjakan produksi Handphone, Komputer, dan Tablet dari 0,1 juta unit (2013) menjadi 88,8 juta unit (2019), sekaligus menekan impor dari 62 juta unit menjadi 4,2 juta unit.
Mohammad Faisal menegaskan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain memperkuat ekonomi domestik.
“Kita harus berhenti bergantung pada pasar luar negeri dan mulai membangun daya tahan ekonomi nasional. Saatnya Indonesia bangkit, melindungi industri lokal, dan memastikan regulasi yang berpihak pada pelaku usaha di negeri sendiri!” tutupnya. ***