Inilah Alasan Judicial Review Roadmap Produksi Industri Hasil Tembakau

8 April 2016, 06:48 WIB

tembakau

Kabarnusa.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan elemen lainnya mengajukan mengajukan permohonan judicial review terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau Tahun 2015 – 2020.

Langkah itu dilakukan dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Internasional 2016.

Adapun Jaringan Rakyat yang turut dalam pengajuan judicial review terdiri dari beberapa instansi dan lembaga: Raya Indonesia, IAKMI, TCSC, KOMNAS PT, FAKTA, YLBHI, IISD, KRB, SAPTA, SFJ, YLKI, LSM LAW, ISMKMI, PAMI, ISMKI, BEM FKM UI, dan FMBPT UNINDRA.

Aksi ini merupakan bentuk nyata untuk memperingati Hari Kesehatan Internasional.

“Ini sekaligus menindaklanjuti desakan yang dicantumkan dalam ketiga surat somasi yang telah dikirimkan kepada Menteri Perindustrian dan tidak digubris,” kata Direktur RAYA Indonesia Hery Chariansyah dalam keterangan tertulisnya diterima Kabarnusa.com Jumat (8/4/2016).

Semua lembaga itu, mengantarkan permohonan judicial review Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau Tahun 2015 – 2020 ke Mahkamah Agung.

Peraturan ini, tidak hanya akan menghambat upaya pembangunan kesejahteraan di Indonesia namun juga tidak mendukung terwujudnya generasi bonus demografi yang unggul dan tercapainya Indonesia Emas 2045 pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya, ada 7 alasan utama dalam pengujian terhadap Peraturan Menteri Perindustrian ini.

Pertama, Praturan Menteri Perindustrian yang mengizinkan naiknnya jumlah produksi hasil tembakau melanggar kewajiban pemerintah untuk menekan jumlah produksi, distribusi dan konsumsi hasil tembakau yang ditujukan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Dengan begitu, melanggar hak atas kesehatan masyarakat sebagaimana dijamin dalam UU Kesehatan, UU HAM dan ICESCR;

Kedua, peningkatan kapasitas produksi hasil tembakau, yang juga berarti meningkatnya faktor penyebab sakit, sebagai implikasi dari terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian bertentangan dengan tujuan dalam UU Kesehatan yaitu mencegah jatuh sakitnya masyarakat.

Ketiga, semangat pemberian cukai terhadap hasil tembakau dalam UU Cukai, yaitu pengendalian secara ketat, terlanggar dengan adanya Peraturan Menteri Perindustrian yang hanya memberikan ilusi pengendalian hasil tembakau dan tidak benar-benar mengendalikannya.

Keempat, Peraturan Menteri Perindustrian secara nyata bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan yang menghendaki adanya penurunan prevalensi perokok tiap tahunnya.

Karenanya, hal itu menyebabkan terlanggarnya hak atas kepastian hukum yang dijamin dalam UU HAM.

Kelima, peningkatan batas produksi hasil tembakau melalui Peraturan Menteri Perindustrian menempatkan anak sebagai calon pasar utama dari industri rokok dan karenanya bertentangan dengan konsep perlindungan khusus bagi anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak.

Keenam, penetapan hasil tembakau sebagai warisan budaya yang mengharuskan pemerintah melestarikan dan bahkan mendorong produksi hasil tembakau bertentangan dengan semangat pengendalian hasil tembakau berdasarkan UU Cukai dan UU Kesehatan

Ketujuh,meningkatnya produksi hasil tembakau yang tentu berbanding lurus terhadap peningkatan kebutuhan bahan baku akan menyebabkan semakin hilangnya ruang hijau, akibat pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan tembakau.

Selain itu,akan menyebabkan semakin berkurangnya kualitas udara di Indonesia yang tentu merupakan pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin dalam UU Kesehatan, UU PPLH dan UU HAM. (ari)

Artikel Lainnya

Terkini