Alat pengukur intensitas kerusakan akibat gempa besutan mahasiswa STIKOM Bali |
DENPASAR – Anak Agung Ketut Bagus Bandanagara mahasiswa STIKOM Bali berhasil menciptakan sebuah alat untuk mengukur tingkat kerusakan bangunan akibat gempa bumi. Alat dinamakan Intensity Meter itu dibuat dalam kurun waktu satu tahun.
Terinsiprasi keluhan pihak Stasiun Geofisika Sanglah karena belum bisa mengukur tingkat kerusakan bangunan, hanya berdasarkan Seismometer (alat pendeteksi gempa bumi yang mereka milik), ketika dia mengambil kerja praktek di lembaga tersebut.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) selama ini memilki Seismometer buatan Jerman. Tapi alat ini hanya bisa mencatat skala kekuatan gempa (skala richter) dan membutuhkan waktu 5 menit untuk membaca, lalu diolah secara manual kemudian mengirim informasi gempa kepada masyarakat.
“Nah alat saya ini, begitu ada gempa dia langsung kalkulasi, setelah dapat nilai percepatan tertinggi, langsung secara otomatis ditentukan skala intensitasnya berapa, lalu dikirim kepada masyarakat melalui aplikasi telegram,” terang Agung Bandana, panggilan akrabnya kepada wartawan.
Cara kerja alat ini dengan menempel di dinding gedung. Begitu ada gempa bumi, maka data dari sensor dibaca oleh mikrocontroler, lalu dikirim ke mikrocomputer dalam bentuk “informasi jadi” dan langsung ke masyarakat melalui aplikasi telegram fitur @BMKG_EIM_bot.
Perberdaan Intensity Meter buatan Agung Bandana dan Seismometer sangat jauh. Soal harga, alat buatannya tidak lebih dari Rp 2,7 juta, ukurannya juga lebih kecil sehingga mudah dibawa ke mana-mana.
Sedangkan alat yang ada sekarang, berukuran besar dan harganya ratusan juta rupiah. Kepala Stasiun Geofisika Sanglah Isrori menyambut baik karya agung Agung Banda ini. “Hanya saja alat ini masih harus dikakalibrasi lagi dengan milik BMKG barulah bisa diaplikasikan”.
Tujuan kalibrasi untuk mengetahui apakah, percepatan getaran itu karena kondisi gedung tidak kuat sehingga asal ada getaran berpengaruh pada sensor alat ini atau karena pengaruh kekuatan gempa.
“Jadi memang alat ini masih perlu dikaji lagi, tapi secara prinsip sangat bagus,” kata Isrori yang dihubungi per telepon selularnya.
Intensity Meter buatan Agung dan Seismometer milik BMKG memberikan informasi yang berbeda. Seismometer hanya mencatat skala gempa, magnitud, kedalaman dan posisi gempa. Butuh waktu 5 menit untuk mengolah informasi tersbut sebelum dikirim kepadamasyarakat.
“Sedangkan buatan Agung langsung menginformaikan tingkat kerusakan gedung akibat gempa melalui handphone kepada masyarakat saat itu juga,” kata Isrori.
Hasil karya Agung Bandana ini kemudian dituangkan dalam bentuk tugas akhir (skripsi) berjudul “Monitoring Skala Intensitas Gempa Bumi untuk Mengukur Tingkat Kerusakan Berbasis Raspberry Pi”. (gek)