Investasi di Pantai Bingin: Membangun Ekonomi Inklusif, Bukan Menggusur Masyarakat Lokal

Investasi di Pantai Bingin, Bali, memicu perdebatan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan mata pencarian masyarakat.

21 Juli 2025, 13:20 WIB

Badung – Geliat investasi di Pantai Bingin, Bali, memicu perdebatan sengit mengenai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan mata pencarian masyarakat lokal.

Kekhawatiran muncul bahwa investasi besar-besaran berpotensi mengancam eksistensi dan kehidupan ekonomi informal yang telah turun-temurun menjadi sandaran penduduk setempat.

Nyoman Musadi, seorang tokoh masyarakat Pantai Bingin, menyoroti bahwa situasi saat ini merupakan momen krusial di mana perlindungan lingkungan, pelestarian budaya, dan keadilan ekonomi harus bertemu.

Menurutnya, kampanye yang digalakkan saat ini bertujuan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat lokal, mendorong solusi yang adil, dan memastikan bahwa setiap bentuk pembangunan mengutamakan kepentingan masyarakat Bali.

Ancaman Pembongkaran dan Ketidakpastian Ekonomi Lokal
Musadi mengungkapkan bahwa sebanyak 45 bangunan warung tradisional di Pantai Bingin telah menerima surat perintah pembongkaran.

Keputusan ini, yang didasarkan pada dugaan pelanggaran tata ruang, penggunaan lahan, isu lingkungan, dan penyerobotan lahan, secara langsung mengancam mata pencarian 45 pemilik warung beserta keluarga mereka.

“Mereka berasal dari kawasan ini. Bahkan lansia pun mereka masih mencari nafkah di wilayah Pantai Bingin,” tegas Musadi, menggambarkan dampak luas dari kebijakan pembongkaran ini.

Dugaan Penegakan Hukum yang Diskriminatif

Musadi menilai adanya indikasi penegakan hukum yang tebang pilih, di mana hanya usaha-usaha lokal yang menjadi sasaran, sementara proyek-proyek investasi besar lainnya di kawasan serupa tetap tidak tersentuh.

“Ada yang sedang memperkaya diri dari investasi asing yang ingin membersihkan lahan untuk pembangunan resor,” ujarnya, membandingkan situasi di Bingin dengan Jimbaran, Balangan, dan resor Uluwatu yang memiliki zonasi serupa namun tidak menghadapi ancaman pembongkaran mendesak.

‘Bali First’: Melindungi Warisan dan Mata Pencarian

Tagline ‘Bali First’ yang diusung oleh masyarakat Pantai Bingin mencerminkan semangat untuk melindungi mereka yang telah membangun surga pariwisata ini.

Namun, ancaman terhadap warung-warung tradisional bukan hanya soal tempat usaha, melainkan juga bagian dari warisan budaya yang terancam punah.

Musadi menekankan bahwa keluarga lintas generasi terancam terusir dari tanah pesisir leluhur mereka.

“Komunitas ini terdiri dari anak-anak, cucu-cucu yang juga perlu makan, dampaknya meluas ke jaringan keluarga,” imbuhnya, menggambarkan bagaimana penggusuran akan memutus rantai kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Komitmen Lingkungan dan Keadilan Ekonomi

Studi lingkungan independen yang dilakukan menunjukkan komitmen masyarakat Bingin terhadap pembangunan yang bertanggung jawab.

Masyarakat lokal telah menjadi penjaga garis pantai ini selama beberapa generasi, dan perlindungan lingkungan yang sejati seharusnya juga mencakup perlindungan hak atas tanah adat.

Idealnya, keuntungan dari pariwisata harus dinikmati oleh masyarakat lokal, bukan malah menggusur mereka. Saat ini, 34 pemilik warung tradisional merasa cemas dan takut akan masa depan.

Mereka berharap ada kompromi yang adil yang mengarah pada pembangunan inklusif, bukan penggusuran paksa.
Musadi mempertanyakan alasan penelusuran pelanggaran di Bingin baru dilakukan sekarang, padahal pelanggaran serupa terjadi di seluruh Bali.

Dia juga mempertanyakan standar keselarasan arsitektur, mengingat 80% rumah dan hotel di Bali tidak memiliki izin yang sah.

Transparansi mengenai pihak-pihak yang diuntungkan dari pengosongan lahan ini menjadi tuntutan utama masyarakat.

“Sebagai masyarakat lokal yang berasal dari sini, para orang tua kami masih menggantungkan hidupnya di Pantai Bingin. Jika usaha kami ditutup atau dibongkar, bagaimana nasib kami?” tanya Musadi, menyuarakan keresahan yang mendalam.

Kisah keluarga lintas generasi yang membangun kehidupan di Bingin, dukungan dari ahli lingkungan terhadap studi independen, pandangan pekerja pariwisata tentang pentingnya bisnis lokal untuk pengalaman otentik, serta perspektif pemerhati budaya yang mengaitkan hak atas tanah dengan tradisi spiritual Bali.

Semuanya menjadi elemen krusial dalam upaya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi Pantai Bingin.***

Berita Lainnya

Terkini