Jokowi Didesak Kendalikan Konsumsi Tembakau

14 November 2014, 00:00 WIB

Kabarnusa.com – Presiden Joko Widodo diminta mengendalikan konsumsi tembakau untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menekan jatuhnya korban akibat paparan asap rokok.

Beberapa aktivis seperti Kencana Indriswari selaku koordinator AMKRI dan Marlinda Adham, selaku anggota Gerakan Dokter untuk Pengendalian Tembakau serta Tulus Abadi sebagai Ketua Bidang Hukum, Advokasi dan Media Komnas Pengendalian Tembakau menggelar pertemuan.

Juga hadir Fuad Baradja, Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas Pengendalian Tembakau; serta Abdillah Ahsan dari Lembaga Demografi UI, Mereka merekomendasikan agar pengendalian tembakau menjadi isu yang diperhatikan secara serius demi terwujudnya misi tersebut.

Selain itu, pemerintah diingatkan, bahwa merokok telah menjadi wabah di Indonesia, bukannya hanya berdampak kepada kesehatan, tetapi juga sosial ekonomi.

“Jangan sampai  biaya KIS (kartu Indonesia Sehat) habis  untuk membiayai perokok, untuk itu upaya pengendalian tembakau seyogyanya menjadi salah satu agenda utama,” kata Abdillah dalam rilis ditwerima KabarNusa Rabu (12/11/2014).

Peduduk usia kerja yang banyak akan menjadi aset bila mereka berkualitas, sehat, berpendidikan dan berketerampilan.

Sumber daya manusia diukur dari dua hal: pendidikan dan kesehatan. Karena itu, SDM harus dijaga agar tidak menjadi beban nantinya.

Bayangkan bila usia SD atau SMP mulai merokok, sampai 15 tahun kemudian masih merokok, maka mereka bisa menjadi beban karena penyakit.

Abdillah mengatakan, usia produktif menjadi berkurang karena berbagai penyakit akibat dari merokok. Bila tidak ada pengendalian tembakau akan mengancamp take-off ekonomi Indonesia.

Abdillah melanjutkan, hampir semua  Indikator kesehatan memburuk, ISPA, HIV AIDS, prevalensi diabetes, hipertensi, dan stroke. Serangan stroke dan hipertensi terkait dengan kebiasaan merokok.

Indonesia akan mengalami bonus demografi yang merupakan sebuah potensi, tetapi Tulus Abadi  mengingatkan pemerintah jangan hanya berparadigma kuratif seperti kebijakan kartu sakti itu, tetapi juga yang terpenting adalah paradigma preventif.

Kuratif tentu diperlukan, tetapi itu hanya menyelesaikan masalah di sisi hilirnya saja, dan tidak akan menyelesaikan masalah di sisi hulunya.

Persoalan pengendalian tembakau adalah persoalan hulu yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia, untuk bisa menjadi manusia yang sehat, pintar, kerja dan sejahtera.

Bila kebijakan tidak menyisir sisi hulu maka kartu-kartu sakti itu akan menjadi kartu yang melempem. “Kami mendesak Presiden Jokowi untuk mengendalikan konsumsi tembakau agar kesejahteraan meningkat,” tegasnya.

Apresiasi kami untuk regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah terdahulu yaitu PP 109, 2012. Kata dia, yang masih memalukan di tingkat internasional adalah belumnya Indonesia meratifikasi FCTC. (gek)

Berita Lainnya

Terkini