Denpasar – Peliputan dan pemberitaan isu HIV/AIDS diharapkan dapat mempercepat pencapaian target “Three Zero” di Bali: tidak ada lagi penularan kasus baru, tidak ada kematian akibat HIV, serta terhapusnya stigma dan diskriminasi. Namun, tantangan besar muncul di tengah lanskap media yang kerap kontradiktif.
Wartawan senior dan Humas Forum Peduli AIDS, Rofiqi Hasan, dalam diskusi yang difasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali pada Senin (28/7/2025), menyoroti kecenderungan jurnalis yang terlalu fokus pada angka kasus.
Menurutnya, pendekatan ini kurang edukatif dan terkesan seolah HIV adalah virus yang tak teratasi.

“Angka memang penting, tetapi itu tidak cukup. Yang mestinya dikembangkan adalah jurnalisme empati yang mampu mengangkat sisi manusia yang hidup dengan HIV—bagaimana mereka terinfeksi, bagaimana perjuangan mereka, dan bagaimana mereka tetap bersemangat menjalani hidup,” tegas Rofiqi.
Rofiqi juga menekankan pentingnya mengatasi akar stigma yang seringkali muncul dari asumsi bahwa HIV adalah akibat dari rendahnya etika moral, sehingga menyebabkan diskriminasi terhadap penderitanya. Padahal, HIV adalah masalah kesehatan yang membutuhkan dukungan dan pengobatan.
Ia menyerukan normalisasi HIV sebagai masalah kesehatan agar individu berisiko bersedia melakukan tes dan yang positif mau menjalani pengobatan Anti Retroviral (ARV). Penghapusan stigma dan penguatan edukasi kesehatan reproduksi berbasis fakta juga menjadi kunci untuk melawan hoaks, terutama di kalangan remaja.
Sementara itu, Kepala Sekretariat KPA Provinsi Bali, AA Ngurah Patria Nugraha, memaparkan data kumulatif 32.733 kasus HIV di Bali sejak 1987 hingga Mei 2025. Sebagian besar kasus ditemukan pada usia produktif (15-50 tahun).
Patria menilai, peningkatan jumlah kasus ini juga mencerminkan keberhasilan layanan kesehatan dalam penemuan kasus dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. “Sekarang kita sudah punya 120 puskesmas di Bali untuk pelayanan VCT dan testing. Masyarakat sudah mulai paham arti penting memeriksakan diri lebih awal untuk mendapatkan pengobatan,” jelasnya.
Meski demikian, faktor rasa malu dan diskriminasi masih menjadi kendala utama. Banyak Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memilih memeriksakan diri di lokasi yang jauh dari lingkungan mereka agar tidak dikenali. “Diskriminasi masih dirasakan. Dia tidak mau terbuka karena takut lingkungan tahu,” kata Patria.
Untuk itu, peningkatan literasi publik terkait cara penularan HIV sangat penting agar stigma dapat ditekan. “Penularan HIV tidak lewat pelukan, berjabat tangan, makan bersama, atau tidur sekamar. Itu tidak menular. Tapi masyarakat masih banyak yang ambigu soal ini. Edukasi perlu terus ditingkatkan,” tambahnya.
Berdasarkan pemetaan, Denpasar menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak, diikuti Badung dan Buleleng. Namun, tingginya kasus di Denpasar juga selaras dengan tingginya akses dan fasilitas kesehatan di ibu kota provinsi tersebut.
KPA Bali berharap masyarakat memanfaatkan teknologi, termasuk media sosial dan internet, untuk mengakses informasi yang benar dan meningkatkan kesadaran akan kesehatan diri. “Kita juga aktif membagikan konten edukatif di media sosial. Masyarakat saya harap lebih sering update informasi, agar lebih peduli terhadap kesehatannya sendiri,” tutup Patria. ***