Kado Pahit Hari Ibu: Di UGM, Perempuan Bersuara Lawan Kejahatan Ekologis dan Kelalaian Bencana

23 Desember 2025, 09:09 WIB

Yogyakarta – Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak hanya dipenuhi kendaraan yang berlalu-lalang.

Puluhan ibu yang tergabung dalam Koalisi Suara Ibu Indonesia berkumpul, mengubah kebisingan kota menjadi sebuah simfoni keprihatinan bertajuk “Kenduri dan Doa untuk Indonesia’ Senin 22 Desember 2025.

Mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol ketulusan, para ibu ini membawa perlengkapan dapur bukan untuk memasak, melainkan untuk ditabuh.

Denting panci dan kibaran bendera putih menjadi pesan bisu namun tajam: ada yang sedang tidak baik-baik saja dengan penanganan bencana di tanah air, khususnya di tanah Sumatera.

Rika Iffati Farihah, perwakilan massa aksi, menegaskan  aksi ini lahir dari rasa tidak tega melihat lambatnya respons pemerintah terhadap penderitaan di Sumatera.

 

“Kami mendesak pemerintah segera menetapkan bencana di Sumatera sebagai Bencana Nasional. Ini bukan sekadar angka statistik, ini soal nyawa dan ruang hidup yang hilang,” ujar Rika dengan nada getir di sela-sela aksi.

Tak hanya soal tanggap darurat, koalisi ini juga menuntut pengusutan tuntas terhadap kejahatan ekologis. Mereka meyakini bencana yang terjadi bukanlah murni faktor alam, melainkan dampak dari kerusakan lingkungan sistematis yang selama ini diabaikan.

Satu poin yang paling menggugah adalah tuntutan moratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG). Para ibu menilai anggaran raksasa program tersebut seharusnya dialihkan untuk menyelamatkan nyawa di daerah bencana.

Pemborosan Anggaran: Rika menyoroti distribusi MBG yang tidak tepat sasaran, di mana sekolah swasta elit pun menerima jatah.

Masalah Kualitas: Makanan yang diberikan didominasi produk kemasan dan ultra-processed food yang dinilai rendah gizi dan rawan terbuang.

Ketidakmampuan Logistik: Kebijakan membagikan jatah makanan selama libur sekolah memaksa orang tua mengambil jatah beberapa hari sekaligus, yang dinilai sangat tidak efektif.

Dana MBG menyita banyak hal yang lebih penting. Di saat anak-anak di Sumatera kehilangan rumah, dana besar justru dihamburkan untuk program yang belum matang,” tambah Rika.

Aksi ini mendapat simpati mendalam dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, yang turut hadir di lokasi. Baginya, kehadiran para ibu di momen Hari Ibu ini adalah peringatan keras bagi penguasa.

“Bencana seringkali hanya diperlakukan sebagai urusan angka. Gerakan ibu-ibu ini mengingatkan kita bahwa bencana adalah urusan kemanusiaan dan alam,” ungkap Prof. Fathul.

Ia sepakat dengan magnitudo kerusakan di Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, status Bencana Nasional sudah menjadi keharusan.

Menutup aksi, para ibu menuntut penghentian intimidasi terhadap jurnalis dan relawan yang berjuang di garda terdepan.

Mereka meminta negara hadir dengan kebijakan yang inklusif bagi kelompok rentan—perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

“Sebagai ibu, kami tidak hanya memikirkan anak kami sendiri, tapi seluruh anak Indonesia. Kami akan terus mengawal ini,” pungkas Rika dengan tangan yang masih menggenggam bendera putih. ***

Berita Lainnya

Terkini