‘Kami Bukan VOC!’ – Kisah Pilu Warga Lempuyangan Hadapi KAI

Pertemuan di Kantor Panitikismo dihadiri perwakilan warga, LBH Yogyakarta, legal dan aset KAI, dinilai warga sebagai sosialisasi sepihak

6 Juni 2025, 09:13 WIB

Yogyakarta– Konflik antara warga Lempuyangan yang terdampak proyek beautifikasi Stasiun Lempuyangan dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) kian memanas. Setelah pertemuan yang dimediasi Kraton Yogyakarta menemui jalan buntu, warga kini bersiap melayangkan surat persetujuan kedua menyusul terbitnya Surat Peringatan Kedua (SP2) dari KAI pada Rabu (4/6).

Pertemuan yang digelar di Kantor Panitikismo pada Selasa (3/6) lalu, yang dihadiri perwakilan warga, LBH Yogyakarta, serta perwakilan legal dan aset KAI, dinilai warga sebagai “sosialisasi sepihak” alih-alih musyawarah. Raka Ramadan, pendamping hukum warga Lempuyangan, menyayangkan sikap KAI yang dianggap tidak transparan.

“Pertemuan kemarin bukan musyawarah, karena yang terjadi hanya interaksi sepihak dari PT KAI tanpa ada dialog yang bermakna,” tegas Raka. Ia juga menyoroti keengganan KAI menjelaskan dasar hukum di balik informasi yang dianggap “rahasia”, padahal berdampak langsung pada warga.

Warga kembali menegaskan tuntutan mereka, termasuk waktu yang layak sebelum relokasi. Namun, tawaran KAI berupa rumah singgah senilai Rp10 juta, ganti rugi bangunan permanen Rp250 ribu/meter, semi permanen Rp200 ribu, dan ongkos bongkar Rp2,5 juta, ditolak mentah-mentah.

“Ini bukan soal nominal. Ini soal hak warga untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan perlakuan yang adil,” ujar Raka.

Fokki Ardiyanto, Jubir Warga, menyayangkan sikap KAI yang tidak mengindahkan arahan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, terkait tuntutan warga.

KAI beralasan “tidak sesuai peraturan direksi,” namun enggan menunjukkan detail peraturan tersebut. “Ini jelas menunjukkan pendekatan kuasa yang arogan, bukan pendekatan musyawarah,” kritik Fokki.

Menurut Fokki, hak warga untuk mendapatkan penghidupan yang layak, termasuk tempat tinggal dan pengganti usaha, dijamin oleh UUD 1945. Ia bahkan menyamakan SP2 dari KAI seperti “teror” yang memaksa warga pindah, serta membandingkan perilaku KAI dengan VOC.

Fokki juga menegaskan bahwa tanah yang ditempati 14 rumah warga Lempuyangan adalah tanah keprabon (tanah raja) yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

“Ketika saat ini pola-pola pendekatan PT KAI yang dilakukan itu berkarakter VOC, maka ini bukan untuk kesejahteraan rakyat, ini untuk memajukan kemiskinan umum,” pungkasnya.

Menyikapi hal ini, warga Lempuyangan kini menyiapkan surat persetujuan kedua untuk KAI. Mereka menuntut dialog yang setara dan menolak keras intimidasi melalui surat peringatan. Warga bertekad untuk terus bertahan dan memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah, rumah, dan penghidupan yang layak.***

Berita Lainnya

Terkini