Jakarta – Kasus bahan bakar minyak (BBM) impor berkualitas di bawah standar atau off-spec yang ramai diperbincangkan sejak pertengahan 2025 dinilai bukan sekadar persoalan teknis. Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Dr. Rasminto, menyebut fenomena ini bisa menjadi ujian serius bagi reputasi Pertamina dan kedaulatan energi nasional.
“Publik melihatnya sebagai masalah mutu Pertamax dan Pertalite, padahal di baliknya mencuat ada kepentingan besar yang sedang bertarung dalam sistem energi nasional kita,” ujar Rasminto dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Sabtu (1/11/2025).
Rasminto menjelaskan, lonjakan kasus BBM off-spec mulai muncul setelah Pertamina memblokir lebih dari 15 vendor dalam Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT) pada awal 2025.
“Pemblokiran dilakukan setelah beberapa perusahaan diduga terlibat dalam kasus hukum impor minyak mentah yang menyeret nama Mr. MRC dan sedang ditangani Kejaksaan Agung”, jelasnya.
Menurutnya, langkah itu merupakan bagian dari upaya memperkuat integritas sistem impor nasional. Namun, ia menduga ada pihak-pihak yang tidak siap kehilangan pengaruh dan berusaha mengguncang reputasi Pertamina melalui cara lain.
“Setelah jaringan lama diblokir, justru muncul dugaan sabotase berupa pengiriman kargo BBM impor dengan mutu di bawah standar. Ini yang kemudian menimbulkan gejolak di publik,” kata Rasminto.
Berdasarkan data HSI, hingga Agustus 2025 tercatat 24 kasus BBM off-spec, meningkat enam kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Parameter yang paling sering bermasalah meliputi distilasi 50 persen, oxidation stability, dan benzene content, semuanya berkaitan dengan proses blending dan pengawasan mutu di luar negeri.
“Masalahnya bukan di kilang domestik Pertamina, tetapi di rantai pasok impor. Hal ini penting dipahami agar publik tidak salah menilai,” kata Rasminto.
Ia menambahkan, pekerja Pertamina di lapangan menghadapi dilema berat karena harus menjamin pasokan nasional tetap berjalan meskipun menerima kargo dengan kualitas rendah.
“Biaya korektif akibat blending, recirculation, dan penambahan bahan antioksidan sudah menelan hampir 6 juta dolar AS, ditambah demurrage sekitar 23 juta dolar AS karena kapal harus menunggu klarifikasi mutu,” ujarnya.
Lebih dari sekadar kerugian finansial, Rasminto menilai kasus ini mengancam reputasi korporasi milik negara.
“Kalau publik kehilangan kepercayaan pada Pertamina, yang dipertaruhkan bukan hanya citra perusahaan, tapi juga martabat kedaulatan energi kita, ini yang berbahaya,” tegasnya.
Ia menilai pola lonjakan kasus off-spec yang terjadi setelah pemblokiran vendor lama menunjukkan adanya indikasi sabotase sistematis.
“Kasus ini seperti balas dendam jaringan lama yang kehilangan akses di sektor migas nasional,” tambahnya.
Untuk merespons situasi tersebut, Rasminto mendorong Pertamina membentuk Tim Task Force Cargo Import Off-Spec.
“Tim ini harus fokus pada langkah-langkah teknis seperti bottle test blending, recirculation di tangki darat, serta penambahan additive (AO) guna menjaga stabilitas mutu bahan bakar”, tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya peningkatan kompetensi teknis dan pemahaman produk bagi seluruh pekerja Pertamina, mulai dari manajemen hingga operator SPBU.
“Pekerja yang memahami karakteristik produk akan menjadi benteng terakhir dalam menjaga mutu BBM dan kepercayaan publik,” ucapnya.
Rasminto menilai, kasus BBM off-spec harus dijadikan momentum bagi Pertamina dan pemerintah untuk memperkuat tata kelola impor energi nasional.
“Masalah BBM off-spec jadi ujian bagi integritas sistem energi kita. Pertamina perlu dukungan negara untuk memastikan kedaulatan energi tetap terjaga,” katanya.
Menurutnya, negara harus turun tangan menelusuri kemungkinan adanya sabotase yang dilakukan jaringan lama impor migas yang terafiliasi kasus hukum sebelumnya.
“Tarung reputasi Pertamina sesungguhnya adalah tarung reputasi bangsa. Kita tidak boleh kalah di sektor strategis seperti energi,” pungkasnya.***

