![]() |
ilustrasi/net |
JAKARTA – Bawaslu diharapkan bisa memutuskan seadil-adilnya dalam persidangan gugatan sengketa proses pemilu yang dilakukan kubu Oesman Sapta Odang terhadap KPU.
Sebagai lembaga ajudikasi, Bawaslu akan memutus perkara ini dalam beberapa hari ke depan, setelah mendengarkan gugatan pemohon, jawaban KPU sebagai termohon, serta mendengarkan para saksi dan saksi ahli.
“Kita berharap agar putusan Bawaslu nantinya akan menjadi landasan hukum untuk para pihak, sekaligus menjadi norma yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa saat ini dan ke depan, sepanjang sesuai dengan norma konstitusi yang ada,” ujar Sekretaris Jenderal KIPP Suminta dalam siaran persnya, Senin (7/1/2019).
Kasus ini, kubu OSO mempersoalkan pencoretan dirinya oleh KPU sebagai calon anggota DPD untuk daerah pemilihan Kalimantan Barat dalam DPT yang diterbitkan oleh KPU.
Dasar keputusan KPU untuk mencoret OSO dari DCT adalah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan bahwa pengurus partai politik tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai calon DPD.
Sementara itu kubu OSO menggugat keputusan KPU, melalui pengacaran mendalilkan gugatannya berdasarkan putusan pengadilan TUN dan putusan MA, yang membolehkan pencalonan pengurus Parpol sebagai calon anggota DPD.
Dalam persidangan yang dipertentangkan antara pihak KPU dan Kubu OSO adalah soal apakah KPU berwenang untuk mencoret OSO yang merupakan Ketua Umum Partai Hanura dari pencalonannya sebagai calon angota DPD.
Dalam gugatannya, pihak OSO mendalilkan bahwa putusan yang harus dieksekusi KPU adalah putusan TUN dan MA, yang membolehkan pencalonan OSO tersebut, bukan mendasarkan kepada putusan MK yang tidak membolehkan pencalonan pengurus parpol menjadi calon DPD,
Dalam putusan tersebut MK secara eksplisit menyebutkan soal pencalonan DPD pada pemilu 2019. Sebaliknya KPU menggunakan dalil bahwa putusan MK yang diputuskan lebih awal dibanding dengan putusan TUN dan MA tentang hal yang sama.
Pertanyaanya, sebagaimana dipertanyakan oleh kubu OSO, apakah putusan MK dapat serta merta dilaksanakan KPU dalam bentuk keputusan, tanpa harus ada norma lain setingkat Undang-undang yang mendasari keputusan tadi?
“Kami memandang hirarki hukum Indonesia, Undang-Undang Dasar merupakan hukum dasar (Groun Norm) yang normanya bisa memberikan kewenangan kepada badan atau organ untuk membuat hukum atau norma di bawah konstitusi, yang tidak bertentangan dengan norma konstitusi,” tuturnya.
Mahkamah konstitusi memiliki kewenangan untuk mengoreksi norma setingkat Undang-undang yang dinilai bertentangan atau tidak selaras dengan norma konstitusi.
KPU adalah penyelenggara pemilu yang melaksanakan pemilu berdasarkan Undang-undang dan berwenang mengatur norma pelaksanaan di bawah Undang-undang, sekaligus menjadi pelaksana dari norma yang dibuatnya tersebut.
“Peradilan TUN dan MA berwenang memutuskan perkara sengketa atau gugatan dengan mengacu kepada norma Undang-undang,” sambungnya.
Dalam kasus ini, KPPP meilhat adanya norma hukum abstrak berupa konstitusi sebagai hukum dasar, Undang-undang sebagai norma umum yang abstrak yang mengatur kewenangan dan pelaksanaan kewenangan baik KPU maupun MA.
KPU berwenang membentuk Norma Umum berupa Peraturan KPU, (PKPU sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-undang, serta adanya norma khusus yang operasional berupa keputusan KPU dan putusan MA dan putusan peradilan TUN.
Selain iyu, Putusan MK berupa norma umum yang setingkat dengan Undang-undang, sehingga bisa digunakan sebagai bagian dari norma yang bisa digunakan baik KPU maupun MA dan peradilan TUN dalam membuat norma khusus, yang operasional dan individual, dalam kasus ini.
Kemudian, berdasarkan hukum tidak boleh ada norma hukum yang dibentuk atas dasar perintah konstitusi yang bertentangan dengan norma konstitusi. Demikian pula, tidak boleh ada norma hukum umum dan norma hukum khusus yang dibuat badan yang diperintah undang-undang bertentangan dengan norma undang-undang tersebut.
Jadi, baik utusan Peradilan TUN dan putusan MA serta keputusan KPU terkait kasus OSO, merupakan norma hukum khusus yang individual dan operasional (eksekusi), yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya.
Dalam hal ini Keputusan KPU tentang DCT dibuat berdasarkan PKPU, dan PKPU dibuat berdasarkan UU serta selaras dengan putusan MK. Putusan peradilan TUN dan putusan MA, seyogyanya juga mengakomodir putusan MA yang menjadi norma stingkat UU, yang sudah ada saat MA memutus perkara gugatan OSO.
“Seyogyanya Bawaslu dalam memutus perkara gugatan OSO ini bisa melihat secara utuh dan memutus dengan seadil-adilnya,” demikian Suminta. (rhm)