Kasus Penularan HIV di Bali Masih Didominasi Hubungan Seksual Berisiko Tanpa Kondom

Perilaku seksual berisiko pergantian pasangan tanpa menggunakan kondom menjadi penyebab tingginya penyebaran HIV di Bali.

21 Mei 2025, 10:04 WIB

DenpasarPenyebaran HIV di Bali masih banyak terjadi akibat perilaku seksual berisiko, seperti pergantian pasangan tanpa menggunakan kondom.

“Kasus penularan karena faktor ini masih menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan faktor lainnya,” ujar Dewa Suyetna dari Yayasan Kerti Praja (YKP) dalam pernyataannya pada Selasa (20/5/2025).

Menurutnya, meskipun tingkat penggunaan kondom di kalangan pekerja seksual telah mencapai 60 persen, masih banyak pelanggan yang menolak menggunakannya.

“Pekerja seks umumnya sudah memahami pentingnya kondom karena adanya sosialisasi, tetapi pelanggan sering kali menolak,” jelasnya.

Rendahnya penggunaan kondom ini berkontribusi pada tingginya kasus Infeksi Menular Seksual (IMS), yang berdampak langsung pada peningkatan angka infeksi HIV di Bali.

Berdasarkan data akumulatif sejak 1987 hingga September 2024, terdapat 31.361 kasus HIV/AIDS di Bali. Dari jumlah tersebut, 91,4 persen kasus terjadi akibat transmisi seksual, dengan rincian 76,4 persen heteroseksual, 14,5 persen homoseksual, dan 0,5 persen biseksual.

Temuan Yayasan Kerti Praja menunjukkan bahwa perilaku seksual berisiko belum mengalami perubahan signifikan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade.

Surveilans yang dilakukan dari tahun 2007 hingga 2017 mencatat bahwa perilaku hubungan seksual tanpa kondom masih tinggi di kalangan pekerja seksual dan populasi kunci lainnya.

Dalam upaya mengatasi hal tersebut, YKP menggelar acara “Pertemuan Konsensus Program Advokasi Mitra AHF” pada Kamis (15/5/2025). Diskusi ini menyoroti pentingnya edukasi tentang seks sejak usia remaja guna menghindari perilaku berisiko dan mencegah penularan HIV.

Selain faktor perilaku, ketersediaan kondom di layanan kesehatan juga menjadi tantangan. Puskesmas 2 Kuta Utara, yang sering diakses oleh pekerja seks dan lelaki suka lelaki (LSL), mengaku kerap mengalami kekurangan stok kondom.

“Kami sering mengalami kekurangan karena jumlah yang diterima dari dinas terbatas. Biasanya kami mencari tambahan dari RS Mangusadha,” ujar Khiliyatun Nisa, dokter di puskesmas tersebut.

Setiap harinya, puskesmas itu melayani 40 hingga 50 orang yang mengakses layanan kesehatan, termasuk kebutuhan kondom. Meski fasilitas PrEP (Profilaksis Pra-Pajanan) telah tersedia, banyak orang tetap mengandalkan kondom untuk pencegahan IMS sekaligus HIV.

Di kalangan LSL, kebutuhan utama bukan hanya kondom tetapi juga lubricant atau pelicin. “Pelicin menjadi kebutuhan khusus, tetapi harganya cukup mahal,” ujar Yasa, penjangkau komunitas LSL dari YKP.

Data tes HIV dari YKP juga mencatat peningkatan kasus positif di kalangan LSL. Dari sekitar 80 orang yang menjalani tes, ditemukan 7 hingga 8 kasus positif.

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar menyatakan bahwa intervensi penggunaan kondom di kelompok berisiko mengalami penurunan belakangan ini akibat keterbatasan sumber daya yang dimiliki KPA maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Banyak pekerja seksual yang menganggap cukup dengan PrEP, padahal kondom tetap diperlukan untuk pencegahan menyeluruh,” ujar Ni Wayan Yanti dari KPA.

Meningkatkan kesadaran penggunaan kondom di masyarakat, terutama kelompok berisiko, menjadi tantangan yang perlu ditangani melalui kerja sama berbagai pihak guna menekan angka penularan HIV di Bali. (***)

Berita Lainnya

Terkini