Sleman – Kisruh dugaan penganiayaan yang melibatkan seorang santri bernama Dimas dan sejumlah santri lain di Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini telah menemukan titik terang. Perselisihan yang bermula dari dugaan pencurian ini akhirnya diselesaikan melalui jalur damai, sebuah langkah yang disambut baik oleh berbagai pihak.
Kepastian ini disampaikan langsung Kapolresta Sleman, Kombes Pol Edy, pada Rabu (4/6). Melalui sambungan telepon, Kombes Edy menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat, baik pelapor maupun terlapor, telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri permasalahan ini secara kekeluargaan.
“Benar bahwa kedua belah pihak telah sepakat menyelesaikan permasalahannya secara damai,” ungkap Kombes Pol Edy. “Seluruh laporan, baik penandatanganan maupun pencurian, telah dicabut. Dengan adanya Restorative Justice (RJ), maka semua laporan tercabut.”
Proses keadilan restoratif ini, sebagaimana dijelaskan oleh Kuasa Hukum Dimas, Heru Lestarianto, dimulai setelah adanya kesepakatan tulus dari pihak korban dan keluarganya.
“Kemarin dilakukan RJ setelah korban dan orang tuanya datang, lalu mendapatkan nasihat dari pihak tertentu hingga disepakati secara damai,” jelas Heru.
Ia menambahkan, proses selanjutnya dilakukan di Polresta Sleman, dengan fokus utama pada kesepakatan RJ, sementara urusan terkait pinjaman atau kompensasi diserahkan langsung kepada keluarga dan yayasan.
Pernyataan senada juga datang dari Adi Susanto, kuasa hukum Pondok Pesantren Ora Aji. Menurutnya, proses perdamaian ini telah diformalkan pada Selasa (3/6).
“Laporan polisi, baik dari pihak santri yang melaporkan 13 santri itu, termasuk juga laporan dari 13 santri terhadap Dimas, telah resmi dicabut,” terang Adi. Ia menekankan bahwa dokumen perdamaian sudah ditandatangani dan diserahkan ke Polresta Sleman untuk ditindaklanjuti.
Miskomunikasi Sebagai Akar Masalah
Adi Susanto lebih lanjut mengungkapkan bahwa keputusan untuk berdamai diambil karena kedua belah pihak menyadari bahwa insiden ini sejatinya terjadi akibat miskomunikasi.
“Karena masing-masing pihak sama-sama berasal dari lingkungan ponpes yang sama dan menyadari pentingnya menjaga keharmonisan, maka perdamaian adalah jalan terbaik,” ucap Adi. Ia menambahkan bahwa seluruh pihak berkomitmen untuk memperbaiki lingkungan hidup di pondok pesantren.
Terkait adanya pendanaan atau kompensasi, Adi menjelaskan bahwa hal tersebut ditangani langsung oleh pihak yayasan dan keluarga, tanpa melalui kuasa hukum. “Kami hanya memfasilitasi dari sisi hukum, soal kompensasi tidak melalui kami. Tapi yang terpenting adalah proses hukum yang sempat viral ini sudah selesai dengan damai,” tegasnya.
Dengan dicabutnya seluruh laporan polisi, status hukum terhadap 13 santri maupun Dimas secara otomatis gugur. “Secara otomatis karena laporan dicabut, maka status tersangka juga tidak ada lagi. Tidak ada kasus hukum yang berjalan,” papar Adi dengan gamblang.
Meskipun demikian, mengenai kelanjutan status Dimas di Ponpes Ora Aji, Adi Susanto menyatakan bahwa hal tersebut belum menjadi pembahasan. “Kami hanya fokus pada penyelesaian hukum. Jadi apakah Dimas akan kembali nyantri atau tidak, belum menjadi pembahasan,” pungkasnya.
Dengan berakhirnya kasus ini, pihak Ponpes Ora Aji berharap agar ketenangan dan pembinaan santri dapat terus berjalan sebagaimana mestinya tanpa lagi terganggu oleh konflik.
Tiga laporan polisi yang resmi dicabut terkait persoalan ini adalah:
Laporan dari KDR dengan nomor: STTLP/22/II/2025/SEK KLS/POLRESTA SLM/POLDA DIY.
Laporan dari NG dengan nomor: REG/61/II/2025/SPKT/RESTA SLEMAN/POLDA DIY.
Laporan dari FA, dengan nomor: LP/B/146/III/2025/SPKT/POLRESTA SLEMAN/POLDA D.I.Y, tertanggal 10 Maret 2025. ***