Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Ekonomi), Airlangga Hartarto sepertinya adalah sosok yang paling bertanggunjawab atas keberhasilan atau kegagalan implementasi program Bioenergi melalui Biodiesel (campuran bahan nabati dan fosil) yang dimulai pada tanggal 1 Februari 2023.
Bahkan, Airlangga menyatakan implementasi kebijakan Biodiesel 35 (B35) yang direncanakan menyerap 13,15 juta kiloliter biodiesel akan menghemat devisa Indonesia hingga 10,75 miliar dolar AS atau senilai Rp. 159,1 triliun (US$1= Rp14.800).
Ditambahkannya, bahwa kebijakan ini diyakini akan dapat meningkatkan nilai tambah industri hilir sebesar Rp16,76 triliun dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton setara karbon dioksida. Benarkah demikian adanya, disaat cadangan devisa (cadev) negara menurun sejumlah US$7,7 miliar dibanding tahun 2021?
Mudah-mudahan ini bukan perhitungan opini untuk kepentingan tahun politik di 2024? Apalagi, selama 7 (tujuh) tahun terakhir importasi mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami defisit, termasuk neraca pembayaran.
Memang benar adanya, semenjak tahun 2002 Indonesia tidak lagi menjadi produsen migas dunia atau pengimpor bersih (net importir). Hal ini disebabkan oleh produksi minyak dalam negeri yang “hanya” mampu memasok sejumlah 650 ribu barel per hari (bph, sedangkan kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri mencapai 1,3 juta bph. Maka, impor migas merupakan sebuah keniscayaan meskipun secara periodik nilai dan volumenya berubah-ubah atau mengalami fluktuasi.
Sehubungan isu penghematan devisa negara terkait penggunaan B35, maka data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 1996 menunjukkan bahwa memang nilai impor hasil minyak atau Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah Indonesia kecenderungannya terus mengalami kenaikan. Dan, selama 3 (tiga) tahun terakhir saja, rata-rata impor BBM sekitar 24 juta kilo liter (KL) dengan nilai impor migas tahun 2019 sejumlah US$21,88 miliar dan nomigas US$149,39 miliar.
Pada tahun 2021 nilai impor kembali melonjak 74% menjadi US$ 14,39 miliar dibanding tahun sebelumnya atau sekitar Rp 205,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).
Lonjakan impor BBM yang terjadi pada Tahun 2021 lebih disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang rata-rata mencapai angka US$ 68,47 per barel, jauh di atas asumsi APBN 2021 yang sejumlah US$ 45 per barel.
Bahkan, angka realisasi ICP-nya jauh di atas asumsi APBN tahun 2020 yang tercatat sejumlah US$ 40,39 per barel. Artinya, terdapat pengaruh kenaikan harga minyak mentah sebesar 69,5% pada tahun 2021 dibandingkan 2020 yang nilai impornya menurun sejumlah US$ 8,28 miliar atau setara Rp122,5 triliun.
Berdasarkan jenisnya, maka impor BBM terbesar masih berasal dari produk bensin dengan nilai oktan (RON) di atas atau sama dengan 90 seperti Pertalite, Pertamax dan sejenisnya, termasuk bensin di bawah RON 90 berupa Premium (RON 88). Nilai impor BBM jenis bensin selama periode 2021 tercatat mencapai 13,97 juta ton, atau naik 14% dibandingkan 2020 yang hanya sejumlah 12,23 juta ton.
Inilah fakta, bahwa nilai impor bensin pada tahun 2021 tersebut mengalami kenaikan sebesar 96% menjadi US$ 9,33 miliar dari sebelumnya hanya US$ 4,75 miliar pada tahun 2020. Lalu, impor Pertamax atau bensin dengan RON di atas dan sama dengan 90 pada tahun 2021 tercatat mencapai 8,17 juta ton, naik 69,5% dari 4,82 juta ton pada 2020. Dari sisi nilai, impor bensin RON 90 ke atas ini mencapai US$ 5,58 miliar, melonjak 203% dari US$ 1,84 miliar ditahun 2020, disatu sisi.
Disisi lain, nilai impor minyak Indonesia menurut catatan BPS pada Januari-September 2022 mencapai US$27,17 miliar atau setara Rp407 triliun (US$1=Rp15.000 ). Terdiri dari US$18,54 miliar untuk impor minyak olahan dan US$8,62 miliar untuk impor minyak mentah. Adapun dari implementasi B30 menurut Menteri ESDM, pemerintah dapat mengurangi impor BBM solar sekaligus menghemat devisa negara sebesar US$ 8,34 miliar atau sekitar Rp 122,65 triliun. Artinya, impor minyak selain solar atau jenis bensin berbagai RON pada tahun 2022 adalah senilai US$10,20 miliar atau setara Rp153 triliun.
Berbeda dengan data BPS, pemerintah justru melakukan impor minyak dalam jumlah besar dari negara lain guna memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) domestik yang terus meningkat. Catatan BPS, total volume impor minyak nasional meningkat 14,07% menjadi 42,13 juta ton pada 2021. Sementara nilainya melonjak 79,07% menjadi US$ 25,53 miliar. Jadi, manakah data yang benar dan valid?
Data impor BBM itu, menunjukkan, bahwa memang terjadi penghematan devisa negara apabila terjadi peralihan konsumsi ke B30 namun tidak bisa diperbandingkan (apple to apple) akan bergeser jumlahnya ke B35 apabila kenaikan volume impor solar dan harganya tidak bisa dikendalikan. Disamping itu, jenis BBM terbesar yang diimpor oleh Indonesia, yaitu bensin bernilai oktan (RON) diatas atau sama dengan 90 senilai US$16-17 miliar lebih atau setara Rp251,6 triliun.
Jika mengambil nilai impor BBM jenis bensin sebagai patokan, maka penggunaan B35 akan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi BBM solar di dalam negeri dan akan terjadi penghematan devisa negara.
Penghematan devisa negara ini akan mengkompensasi langsung penggunaan B35 apabila BBM jenis solar terus dikurangi impornya. Dengan begitu, nilai impor BBM terbesar yang mengurangi devisa negara hanya tinggal jenis bensin senilai Rp Rp251,6 triliun.
Oleh karena itu, penggunaan B35 hanya akan efektif menghemat devisa negara Rp159,1 triliun apabila pemerintah mengurangi atau menghentikan secara bertahap impor BBM jenis solar. Penggunaan B35 harus diarahkan ke masyarakat konsumen industri sekaligus diikuti oleh peningkatan ketepatan sasaran penerima manfaat solar bersubsidi non industri.
Terlebih kuota BBM jenis solar pada tahun 2023 ditambahkan alokasinya menjadi 17 juta KL dari sejumlah 15,1 juta KL pada tahun 2022 atau naik sejumlah 1,9 juta KL (12,58%).
Dengan demikian, penting dan mendesak bagi pemerintah untuk menerbitkan revisi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang telah diajukan BPH Migas dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengatur penyaluran Jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) secara lebih detail dan lengkap, khususnya terkait persoalan titik serah terima dan konsumen atau kelompok masyarakat sasaran penerima manfaat agar tidak mudah terjadi penyimpangan serta kelebihan jatah (over quota) di masa mendatang. (*)
*Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.