Jakarta – Dalam semangat pemberantasan kejahatan keuangan, PPATK memang memiliki peran vital. Namun, kewenangan pemblokiran rekening yang dilakukan secara luas, mendadak, dan minim transparansi justru berpotensi melukai rasa keadilan publik.
Alih-alih melindungi masyarakat dari kejahatan finansial, kebijakan ini justru menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan negara.
Sebagai anak bangsa penulis turut perihatin akan kebijakan yang menimbulkan kepanikan dikalangan masyarakat, pemerintah seharusnya mengambil langkah dengan cara mensosialisasikan dan memberikan ruang agar masyarakat berpartisipasi untuk kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan kekhawatiran.
Mencederai Prinsip Demokrasi dan Rule Of law
Dalam teori Demokrasi Klasik yang dikemukakan oleh Aristoteles yang menyebutkan “Demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan rakyat”, yang menekankan bahwasannya rakyat turut terlibat secara langsung dalam pengambilan kebijakan. Sangat Jelas bahwasannya kebijakan PPATK yang disetujui Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah mencederai prinsip demokrasi karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan menimbulkan kegaduhan yang berdampak pada kurangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.
Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pada Pasal 1 Ayat 3 tertuang jelas bahwasannya Indonesia adalah negara hukum dengan prinsip Rule Of Law.
Penulis menilai kebijakan ini terlalu tergesa – gesa tanpa persiapan yang matang bahkan terdapat kekosongan hukum (Asas Legalitas), sampai detik ini belum ada regulasi yang dihadirkan pemerintah mengenai kebijakan ini yang telah melukai prinsip rule of law sebagai berikut :
1. Asas Res Privata : Bayangkan: hanya karena sebuah rekening dianggap “tidak aktif” selama beberapa bulan, dana tabungan yang sah, legal, dan mungkin sangat dibutuhkan pemiliknya, mendadak tidak dapat diakses. Ini bukan sekadar urusan teknis perbankan. Ini menyangkut hak dasar warga negara untuk mengakses hartanya sendiri.
2. Asas Presumption of innocence : Kita tidak boleh membenarkan tindakan preventif yang mengorbankan prinsip dasar hukum, yaitu praduga tak bersalah. Pemblokiran sepihak, tanpa pemberitahuan, tanpa kesempatan klarifikasi, dan tanpa jalur banding cepat, adalah bentuk represi administratif yang membungkam hak sipil secara diamdiam.
3. PPATK bukan lembaga penegak hukum : Tidak seharusnya bertindak seperti polisi keuangan yang bisa mengunci rekening siapa pun hanya karena ada “indikasi”. Kewenangan yang besar tanpa pengawasan selalu membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Dan dalam kasus ini, yang menjadi korban bukan para penjahat keuangan kelas kakap, tetapi masyarakat biasa, pelaku usaha kecil, dan warga yang tidak paham prosedur birokrasi perbankan.
Dampak Nyata
Banyak kasus rekening diblokir padahal bukan milik pelaku kejahatan, seperti rekening donasi sosial, rekening perusahaan kecil yang tidak memahami prosedur administrasi keuangan,rekening karyawan atau keluarga dari seseorang yang dituduh. Hal ini menyebabkan
kerugian reputasi, ekonomi, dan psikologis, serta melanggar prinsip non-discrimination.
Penulis menyajikan beberapa data tentang Dampak Individu dan Pelaku Usaha Kecil sebagai
berikut :
• Theo, seorang warga yang telah menyiapkan dana darurat, mendapati rekeningnya diblokir saat dibutuhkan untuk biaya operasi usus buntu. Akhirnya, keluarganya yang menutup biaya itu terlebih dahulu. (kumparan)
• Gina, warga yang tinggal di Malaysia, nominal simpanannya berkisar Rp 3–5 juta dalam rekening dormant turut diblokir. Ia mengaku belum mengurusnya karena merasa “merepotkan” — tapi tetap merasa dirugikan. (kumparan)
• Anggi, pemilik usaha, rekening giro perusahaan yang digunakan untuk transaksi ke supplier dan customer tiba-tiba dinonaktifkan. Arus kas terganggu, dan meskipun membuka blokir memerlukan klarifikasi ke bank, prosesnya butuh waktu lebih dari seminggu. (kumparan)
Kritik terhadap Kelemahan Lembaga PPATK: Wewenang Besar, Akuntabilitas Lemah
PPATK dibentuk dengan mandat mulia: mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Namun dalam praktiknya, lembaga ini menghadapi banyak kelemahan struktural dan operasional yang berpotensi merugikan masyarakat dan mencederai prinsip negara hukum.
1. Kewenangan Besar Tanpa Mekanisme Pengawasan yang Kuat
PPATK memiliki wewenang untuk menganalisis, menilai, dan bahkan meminta pemblokiran rekening atas dugaan transaksi mencurigakan. Tapi, tidak ada sistem pengawasan yudisial atau lembaga independen yang mengawasi proses itu secara langsung dan real-time. Ini menciptakan “kekuasaan teknokratis yang absolut”, dimana satu lembaga bisa membuat keputusan besar tanpa perlu bertanggung jawab secara terbuka.
2. Minimnya Akuntabilitas dan Transparansi
PPATK tidak memiliki kewajiban untuk secara rinci menjelaskan kepada publik atau pemilik rekening mengenai dasar hukum dan data objektif di balik tindakan mereka. Bahkan laporan tahunan dan kinerja mereka jarang dikritisi secara terbuka oleh DPR atau lembaga pengawas lain, menciptakan situasi “dark room policy”, publik tidak tahu apa yang terjadi sampai terkena dampaknya.
3. Ketiadaan Mekanisme Banding atau Keberatan Cepat
Jika seseorang merasa rekeningnya diblokir secara tidak adil, tidak ada jalur formal yang cepat dan mudah untuk mengajukan keberatan langsung ke PPATK. Warga diarahkan ke bank, lalu ke polisi, bahkan ke pengadilan. Ini membuat korban dari kebijakan salah sasaran justru dipaksa menanggung beban pembuktian sendiri – sangat tidak adil dalam sistem demokrasi.
4. Potensi Politisasi dan Penyalahgunaan Kewenangan
PPATK bukan lembaga penegak hukum, tetapi memiliki pengaruh besar dalam proses hukum. Informasi dan analisis mereka bisa digunakan oleh aparat hukum untuk menindak atau melemahkan pihak tertentu. Dalam konteks politik, ini membuka ruang bagi politisasi data keuangan, di mana oposisi atau kritikus pemerintah dapat “dibungkam” melalui pemblokiran rekening yang dibenarkan secara administratif.
5. Tidak Responsif terhadap Dampak Sosial Ekonomi
PPATK terlalu fokus pada pencegahan tindak pidana, tetapi kurang memperhitungkan dampak sosial-ekonomi dari tindakan mereka. Pemblokiran rekening UMKM, pelajar, atau pekerja migran hanya karena rekeningnya tidak aktif, misalnya, menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan, dan bisa memicu efek domino seperti masyarakat kembali ke transaksi tunai dan informal (shadow banking).
6. Struktur Lembaga yang Kurang Terbuka dan Elitis
Sebagai lembaga teknokratik, PPATK tidak memiliki cukup saluran komunikasi publik. Tidak ada hotline cepat, prosedur permohonan informasi yang transparan, atau representasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Ini menunjukkan bahwa PPATK lebih condong pada pendekatan elitis dan birokratis daripada partisipatif dan demokratis.
Kita semua tentu mendukung pemberantasan tindak pidana seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tapi pemberantasan kejahatan tidak bisa mengorbankan hak warga yang tidak bersalah. Negara tidak boleh mencurigai rakyatnya secara membabi buta hanya
karena rekening mereka “diam” untuk sementara.
Lebih dari itu, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari kebijakan ini membuat rakyat bertanya-tanya: siapa yang mengawasi PPATK? Di mana ruang bagi warga untuk menyampaikan keberatan? Dan yang lebih penting: siapa yang akan mengganti kerugian
warga akibat kebijakan yang gegabah ini?
PPATK adalah lembaga dengan kekuatan besar tapi mekanisme kontrol minim. Ini sangat berbahaya dalam sistem demokrasi. Kekuatan tanpa pengawasan melahirkan kesewenangwenangan, dan kesewenang-wenangan tanpa koreksi akan merusak kepercayaan publik.
Maka, sudah saatnya fungsi, wewenang, dan akuntabilitas PPATK dievaluasi secara serius dan terbuka, agar tidak melampaui batas peran yang seharusnya dijalankan oleh lembaga administratif. Kebijakan yang baik bukan hanya soal tujuan, tapi juga cara mencapainya. Jika caranya menciptakan keresahan dan menyulitkan rakyat kecil, maka tujuan sebesar apa pun tidak bisa dibenarkan. Dalam demokrasi, pemerintah wajib melindungi, bukan mencurigai rakyatnya.***
Oleh : Moh Sahrul Lakoro, Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Gorontalo.