Yogyakarta – Keputusan Menteri Keuangan yang baru, Purbaya, untuk tidak menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2026 menuai kekecewaan tajam dari kalangan akademisi.
Kebijakan ini dinilai sebagai sinyal keberpihakan nyata Kementerian Keuangan terhadap industri rokok, serta pengabaian terhadap fungsi utama cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi.
Kepala Pusat Studi Center of Human dan Development (ched) ITB-AD, Roosita Meilani Dewi, menyayangkan langkah tersebut.
“Sangat disayangkan, pertimbangan pengendalian konsumsi sebagai fungsi utama cukai tidak diutamakan. Beban kesehatan pada makro ekonomi negara sama sekali tidak diperhitungkan,” tegas Roosita dihubungi melalui pesan whatsapp Minggu 23 November 2025.
Menurut Roosita, kenaikan CHT di Indonesia yang hanya berkisar 10-15% per tahun sudah jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Dengan tidak adanya kenaikan, harga rokok akan tetap murah dan terjangkau, khususnya bagi anak-anak, remaja, dan masyarakat rentan (miskin).
Dampak yang ditimbulkan sangat serius:
Peningkatan Penyakit Tidak Menular (PTM): Beban kesehatan masyarakat akan semakin membengkak.
Penggerusan Ekonomi Keluarga: Pengeluaran rokok menggerus gizi keluarga di Rumah Tangga menengah ke bawah, menghambat pertumbuhan generasi yang layak.
Pemerintah beralasan kebijakan ini mempertimbangkan nasib buruh dan petani tembakau serta isu rokok ilegal. Roosita menilai argumentasi ini kurang kuat.
“Mitigasi untuk buruh dan petani dapat dilakukan menggunakan Dana Bagi Hasil CHT (DBHCHT). Sementara maraknya rokok ilegal jelas menunjukkan adanya penegakan hukum yang masih lemah,” kritiknya.
Walaupun penerimaan negara dari cukai rokok merupakan yang terbesar, implementasi penggunaannya masih bermasalah.
Saat ini, hanya 3% dari cukai yang dibagihasilkan untuk daerah. Parahnya lagi, implementasi dana tersebut belum terserap sepenuhnya untuk mitigasi dan pengendalian konsumsi.
Roosita menyoroti kurangnya kejelasan pada alokasi untuk program kesehatan.
“Porsi penggunaan untuk program kesehatan sebesar 40% belum memiliki petunjuk teknis (Juknis) yang jelas, sehingga implementasinya diserahkan sepenuhnya kepada Pemda dan Pemprov masing-masing,” tutupnya, menekankan perlunya transparansi dan ketegasan dalam pemanfaatan DBHCHT sesuai amanat Undang-Undang.***

