Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen Menuai Banyak Pertanyaan Masyarakat, DJP Berikan Penjelasan Ini

Kata Dwi Astuti kenaikan PPN secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,

22 Desember 2024, 11:41 WIB

Jakarta – Banyaknya pertanyaan masyarakat seputar implementasi penyesuaian tarif PPN 1% dari 11% menjadi 12% ditanggapi serius Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan memberikan penjelasan dasar-dasar alasan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai PPN.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak DJP Dwi Astuti memaparkan, beberapa alasannnya.

Pertama, Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

“Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” ungkap Dwi Astuti dalam keterangan tertulisnya 21 Desember 2024.

Kedua, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%.

Barang dan jasa tersebut meliputi

1) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah
umum

3) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.

Selanjutnya, Ketiga, Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri.

Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.

Keempatm Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga
barang dan jasa.

Jadi, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.

Kelima, menjawab pertanyaan mengenai PPN atas uang elektronik dan dompet digital (e-wallet) dengan ini disampaikan bahwa jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atan jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.

Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru. Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut

a) Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1.000.000. Biaya to up misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut: 11% x Rp1.500 = Rp165.

Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut: 12% x Rp1.500 = Rp180.
Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15.

b) Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp500.000. Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:

11% x Rp1.500 = Rp165. Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut:
12% x Rp1.500 = Rp180.

“Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15,” sebut Dwi Astuti.

Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jas layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah.

Keenam, perlu disampaikan, transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru.Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.

Ketujuh, Biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, Youtube Premium, dan
sebagainya merupakan objek pajak PPN PMSE sebagaimana diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru.

Kedelapan, Atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Artinya, atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher bukan merupakan objek pajak baru.

Kesembilan, atas transaksi penjualan tiket konser musik dan sejenisnya, bukan merupakan objek PPN tetapi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diadministrasikan olehpemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Kesepuluh, atas transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian
dari tiket pesawat luar negeri, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, terutang PPN.

Artinya, transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri bukan merupakan objek PPN baru.

Kesebelasa, Berdasarkan hitungan Pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%. Dampak
kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.

Keduabelas, Melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.

Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. Di tahun 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19. Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

Ketiga Belas, sebagaimana telah diumumkan dalam Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 16 Desember 2024, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok masyarakat tidak atau kurang mampu, meliputi:

Keempat Belas, Pemberian paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan tersebut akan melengkapi

berbagai program pemerintah yang saat ini telah dianggarakan dalam APBN 2025, khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat, seperti:

a) Pendidikan sebesar Rp722,6 triliun antara lain untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan (PIP, KIP Kuliah, BOS, BOP Paud, dan beasiswa LPDP), makan bergizi anak sekolah.
b) Perlindungan sosial sebesar Rp504,7 triliun antara lain PKH, Kartu Sembako, PIP, dan KIP Kuliah.

c) Kesehatan sebesar Rp197,8 triliun antara lain percepatan penurunan stunting dan penurunan kasus TBC, pemeriksaan kesehatan gratis, dan program JKN. d) Ketahanan pangan sebesar Rp124,4 triliun antara lain ekstensifikasi lahan pertanian beserta sarana dan prasarananya, lumbung pangan dan akses
pembiayaan petani, serta penguatan cadangan pangan nasional. Total paket insentif ekonomi di atas sebesar Rp1.549,5 triliun (51,56% dari total penerimaan APBN 2025).

Kelima Belas, Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan memperkuat penerimaan negara di
APBN sehingga dapat mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, termasuk
membiayai program-program pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat
kurang mampu.

Berdasarkan baseline penerimaan PPN tahun 2023, dengan asumsi basis yang sama, potensi penerimaan PPN (PPN DN dan PPN Impor) dari penyesuaian tarif 11% menjadi 12% ini mencapai Rp75,29 triliun.

Keenam belas, sampai saat ini Pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi
pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0.5% maupun sebagai batasan untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi
Rp3,6 miliar per tahun.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers Menko Perekonomian pada hari senin tanggal 16 Desember 2024.

Ketujuh Belas, Terkait rencana pemerintah untuk mengenakan PPN atas “barang kebutuhan pokok
premium” dan “jasa k esehatan/pendidikan premium”, dengan ini disampaikan bahwa:

a) Kementerian Keuangan akan membahas kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu.

b) Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait. ***

Berita Lainnya

Terkini