Denpasar – Meski sudah hampir 12 tahun Perda Provinsi Bali No 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok telah diterbitkan namun implementasi di lapangan khususnya di sektor hospitality atau industri pariwsata masih jauh dari harapan.
Perda yang ditandatangani semasa Guberur Bali Made Mangku Pastika itu jelas mentapkan 9 kawasan terlarang atau bebas dari paparan asap rokok yang dikenal Kawasan Tanpa Rokok.
Semua areal ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan terkait merokok, memproduksi maupun promosi.
KTR meliputi sejumlah tempat termasuk di tempat umum semisal di antaranya pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, tempat hiburan, hotel hingga restoran.
Ketua Udayana CENTRAL, Putu Ayu Swandewi mengakui masih banyak pelanggan seperti di restoran yang tidak mengetahui ada aturan Perda KTR juga harus diterapkan. Demikan juga, tamu atau masyarakat ada yang belum mengetahui restoran termasuk kawasan KYTR.
“Dari hasil survei, hanya 30,8 persen pelanggan yang tahu bahwa Perda KTR harus diterapkan di restoran,” ujar Putu Ayu dalam acara Media Gathering Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (Udayana CENTRAL) di Denpasar Rabu 1 Februari 2023 di Big Corner Garden Sanur.
Sasaran Survei kepatuhan Perda KTR ini adalah sejumlah restoran di Denpasar dan Badung. Didapati juga, hanya 33,3 persen pelanggan yang bersedia melaporkan pelanggaran Perda KTR pada pihak berwenang.
“Ada 55,3 persen pelanggan yang bersedia menegur orang saat merokok di restoran,” tutur akademisi Unud ini.
Kemudian, hanya 45,3 persen yang tahu bahwa melanggar Perda akan dikenai sanksi meski 69 persen sudah pernah mendengar tentang Perda KTR.
Berbagai upaya penghentian kebiasaan merokok perlu dilakukan, khususnya di kalangan remaja.
Dari survei yang pernah dilakukan 81 % remaja rokok sebenarnya memiliki keinginan untuk berhenti merokok.
“Namun begitu keinginan itu sulit terealisir sebab faktanya perokok masih enggan untuk mengambil “action” untuk berhenti,” tandas Putu Ayu Swandewi.
Terbukti, masih langkanya perokok yang mempergunakan fasilitas Layanan Berhenti Merokok yang disediakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Bali.
Karena itu, kata dia, untuk mendukung pengendalian rokok diperlukan kolaborasi dengan melibatkan stakeholder termasuk dengan kalanhan media.
“Teman-teman media bisa berperan melakukan edukasi dan advokasi dalam pengendalian rokok,” imbuhnya.
Pejabat Fungsional Epidemiologi Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Gusti Ngurah Sri Dana SKM MKes, menyebutkan, tahun 2022 sudah dilakukan pelatihan terhadap 90 Puskesmas.
“Akan ditambah 60 lagi pada tahun 2023,” ujar Gusti Ngurah Sri Dana didampingi Dr. I Made Kerta Duana, SKM, MPH, penasehat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengda Bali.
Dijelskan, saat konseling, petugas akan mengawalinya dengan pemeriksaan kesehatan terkait resiko kecanduan merokok seperti tes terhadap fungsi paru, kadar nikotin dalam darah, serta tes lain yang terkait. Setelah itu barulah dilakukan konseling untuk mengurangi perilaku merokok.
Sri Dana juga menanggapi kritik mengenai minimnya kunjungan setelah program itu diuji coba setahun terakhir, bahwa pihanya akan mendorong agar petugas lebih aktif melakukan penjangkauan sasaran.
Lebih khusus, bagi perokok pemula dimana petugas akan mengunjungi sekolah dan kelompok anak muda lainnya.
“Juga rencana akan dibentuk juga di rumah sakit sehingga jika di Puskesmas petugas menunggu, di rumah sakit bisa jemput bola karena sudah bisa diketahui mana saja pasien yang penyakitnya dipengaruhi karena rokok,” katanya
Bagi perokok pemula dimana petugas akan mengunjungi sekolah dan kelompok anak muda lainnya.
Perlu dilakukan sosialisasi cara berhenti dengan benar.
“Tidak benar bila melakukan penggantian ke rokok elektrik seperti dipromosikan karena justru menimbulkan bahaya baru,” katanya.
Langkah pelayanan itu, kata dia, untuk memutus kebiasaaan merokok yang diduga terkait dengan penyakit-penyakit tidak menular sperti jantung, darah tinggi dan diabetes.
Berdasari data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Bali, penyakit-penyakit itu pula yang menyedot pembiayaan dan besarnya empat kali lipat lebih besar daripada penanganan penyakit menular.
Penasehat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengda Bali Made Kerta Duana menambahkan,