Yogyakarta – Keputusan Pemerintah untuk tidak menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2026 memicu perdebatan sengit, menempatkan perlindungan kesehatan masyarakat pada satu sisi dan keberlangsungan ekonomi dalam negeri di sisi lain.
Langkah ini dilihat sebagai kebijakan jangka pendek yang berfokus pada stabilitas sosial di tengah ancaman resesi dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membayangi.
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hempri Suyatna, menilai kebijakan non-kenaikan cukai ini sebagai upaya untuk meminimalkan dampak sosial yang lebih luas.
Kebijakan ini diambil untuk meminimalkan dampak sosial yang lebih luas. Kita bisa amati, saat ini cukup banyak industri padat karya yang gulung tikar.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek, kebijakan tersebut mungkin dimaksudkan untuk meminimalkan dampak sosial yang lebih luas, khususnya pengangguran,” jelas Dr. Hempri, Senin (17/11).
Penilaian ini menggarisbawahi kondisi industri domestik yang lesu, di mana sektor padat karya rokok dianggap sebagai salah satu penyangga tenaga kerja.
Namun, Dr. Hempri dengan tegas mengingatkan bahwa fokus ekonomi jangka pendek tidak boleh mengorbankan dimensi kesehatan publik. Ia mendesak agar edukasi dan kampanye tentang bahaya merokok terus digalakkan.
“Tujuan jangka panjang pengendalian konsumsi [rokok] harus tetap tercapai,” tegasnya, menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara aspek fiskal dan kesehatan.
Salah satu argumen utama penolakan kenaikan cukai adalah kekhawatiran meningkatnya peredaran rokok ilegal yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Menanggapi hal ini, Dr. Hempri memberikan pandangan yang lebih komprehensif.
“Saya kira merebaknya rokok ilegal tidak semata-mata disebabkan oleh kenaikan cukai legal,” ujarnya.
Menurutnya, faktor yang lebih dominan adalah lemahnya pengawasan dan koordinasi antar lembaga.
Ia menyoroti perlunya penegakan hukum yang komprehensif, melibatkan Bea dan Cukai, kepolisian, lembaga peradilan, hingga lembaga kesehatan, untuk memutus mata rantai peredaran gelap.
Dr. Hempri juga menyinggung isu kesejahteraan petani tembakau dan buruh rokok, yang nasibnya kerap dijadikan alasan utama penolakan cukai.
Ia mengungkapkan fakta pahit bahwa kesejahteraan riil petani tembakau tidak sebanding dengan kontribusi besar mereka terhadap penerimaan negara.
Yang lebih dalam, hasil penelitian mahasiswanya pada 2023 menunjukkan kuatnya nilai budaya terhadap tembakau yang dianggap sebagai ‘emas hijau’ oleh masyarakat.
“Meski dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, para petani tetap setia menanam tembakau karena dianggap sebagai berkah,” tuturnya.
Faktor budaya yang mengakar kuat ini, ditambah minimnya pendampingan pemerintah, membuat program alih profesi bagi buruh rokok berjalan lambat. Oleh karena itu, Dr. Hempri mendorong pemerintah untuk tidak hanya melihat isu cukai dari aspek ekonomi.
“Melalui analisis multidimensi—sosial, kesehatan, ekonomi, dan budaya—diharapkan muncul solusi yang menjadi jalan tengah terbaik,” pungkasnya. ***

