Keputusan Jokowi Bisa di PTUN dan Berpotensi Dimakzulkan

20 Januari 2015, 10:24 WIB
Muhamad Adnan Rarasina

Kisruh di tubuh kepolisian yang melibatkan partai penguasa dimana PDIP sebagai penguasa dengan aktor utamanya adalah Megawati bukanlah baru pertama kali ini terjadi. Kisruh seperti ini juga pernah terjadi diujung kekuasaan presiden Abdurahman Wahid.

Gus Dur panggilan akrab Wahid, pada waktu itu ingin  mengangkat Chaeruddin Ismail menjadi Kapolri sedangkan Mega ngotot mempertahankan Bimantoro. Jadilah institusi kepolisian terjerembab dalam kepentingan kukuasaan elitnya pada waktu itu yang di dukung oleh kelompok politik masing masing

Sejarah selalu berulang, begitu diktum hukum alam yang selalu berlaku. Bila dulu Mega  menjadi pemain utama yang langsung memutuskan maka sekarang melalui kadernya yang sering disebut sebagai petugas partai oleh Mega sendiri yaitu Presiden Jokowi.

Keinginan Mega untuk menempatkan orangnya menjadi Kapolri yakni mantan ajudannya sejak mejabat wakil presiden, Komjend Budi Gunawan yang sejak tahun 2010  oleh PPATK terendus memiliki transaksi mencurigakan sebesar 57 Milyar dalam rentang waktu 2004-2006 saat menjabat kepala pembinaan SDM Polri  yang masuk ke rekening anaknya dan BG sendiri. Menjadi kontroversi dan akhirnya memaksa Presiden Jokowi harus harus memutuskan terkait persoalan BG ini berpotensi besar melanggar UU

Soal BG ini sebenarnya menjadi dilema tersendiri bagi Jokowi. Sewaktu penyusunan kabinet nama BG sebenarnya sudah muncul menjadi calon menteri tapi kemudian oleh KPK diberi tanda merah sehingga batal. Menjadi aneh bin ajaib kemudian untuk calon Kapolri, yang merupakan ujung tombak pemberantasan KKN bersama KPK dan kejaksaan, nama BG kembali diajukan dan akhirnya oleh KPK ditetapkan menjadi tersangka.

Hal ini dapat dibaca bahwa sebenarnya Jokowi tidak independen dalam mengambil keputusan soal ini. Jokowi terjepit di tengah keinginan partai partai pengusungnya sendiri terutama PDIP, Nasdem bersama Mega dan Surya Paloh nya. Seolah olah mau bagi bagi jabatan. Jika Nasdem sudah menempatkan orangnya menjadi Jaksa Agung maka giliran PDIP menempatkan orangnya menjadi Kapolri.

Nah yang menjadi persoalan adalah proses politik di DPR sudah selesai, bola akhirnya mau tidak mau harus dioper dan ditangkap oleh Jokowi.  Keputusannya memberhentikan Jend. Sutarman dan mengangkat Komjend Badrodin Haiti yang sedang menjabat wakapolri menjadi Plt kapolri dan memberikan kesempatan kepada BG sampai persoalannya selesai terindikasi kuat menabrak UU no 2 tahun 2012 tentang kepolisian.

Di mana dalam ayat 11 UU ini menyebutkan bahwa syarat syarat sesorang diberhentikan menjadi kapolri adalah pertama, mengundurkan diri atas  permintaan sendiri, kedua berhalangan tetap, ketiga memasuki usia pensiun, keempat melanggar UUD dan terakhir melanggar sumpah jabatan.

Syarat syarat ini semuanya tidak ada yang memenuhi sesuai kriteria UU sehingga pemberhentian Sutarman menjadi kapolri dan pengangkatan Plt Kapolri melanggar UU tentang kepolisian. Hal ini bisa di gugat di PTUN untuk dibatalkan karena prosesnya tidak sesuai dengan administrasi negara yang baik serta prosesnya tidak konstitusional.

Soal berikut adalah pengangkatan Plt kapolri, Jokowi bisa di dakwa melanggar UUD  dimana pengangkatan plt kapolri pun harus meminta persetujuan DPR sedangkan Jokowi tidak pernah melakukannya karena yang dilakukan Jokowi adalah meminta persetujuan pengangkatan BG dan pemberhentian Sutarman.

Yurisprudensi hukum tentang ini sudah pernah terjadi dimana Gus Dur juga diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR melalui sidang istimewa MPR  karena soal yang sama dengan kejadian sekarang.

Disatu sisi juga, gerakan jenderal jenderal Polri pendukung BG antara lain Irjend Budi Wasesa yang diangkat menjadi Kabareskrim menggantikan Komjend Suhardi Ulius, tentu saja atas pesenan kekuasaan, yang dikemudian di Lemhanaskan dimana dengan gagah berani dan terbuka mengatakan akan melawan para pengkhinat  ditubuh Polri.

Kedekatan Suhardi dengan PPATK dan KPK karena memang sesuai dengan bidang tugasnya sebagai kabareskrim, lulusan terbaik angkatan 85 yang terkenal lurus dan sederhana ini akhirnya menjadi tumbal permainan elit penguasa.

Perseteruan akan memasuki babak baru jadi lebih seru, Polri akan ditarik kesana kemari mengikuti irama permainan politik. Jika Polri ikut menari nari diatas gendang yang ditabuh oleh pihak luar maka sungguh sangat disayangkan karena yang pasti rugi adalah rakyat. Rakyat butuh kepastian dan perlindungan hukum 

Muhamad Adnan Rarasina
Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Pemuda Nusantara (DPP GPN)
 

Berita Lainnya

Terkini