Yogyakarta – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh pasca-kasus keracunan makanan massal yang menimpa ratusan siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Menurut Sultan, evaluasi harus difokuskan pada kesiapan dapur, kapasitas penyedia makanan, dan sistem pengawasan dalam produksi makanan massal.
Sultan HB X menegaskan, persoalan utama dalam insiden ini bukan terletak pada programnya, melainkan pada kelemahan proses pelaksanaan yang tidak memperhitungkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas dapur yang tersedia.
Dia mencontohkan, dapur yang terbiasa memasak 50 porsi tidak logis jika dipaksa menyiapkan 3.000 porsi menggunakan peralatan tradisional.
“Ya saya kan sudah mengatakan, pokoknya kalau mau bikin 3.000 porsi ya enggak bisa toh. Biasanya masak cuma 50 porsi, terus disuruh bikin tiga ribu pakai dapur tradisional, itu jam piro le arep tangi? (itu jam berapa akan bangun),” ujar Sri Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Jumat (17/10/2025).
Lebih lanjut, Ngarsa Dalem menjelaskan bahwa produksi makanan dalam jumlah besar membutuhkan sistem penyimpanan, peralatan, dan pengawasan yang memadai untuk mencegah kerusakan makanan. Tanpa freezer atau gudang yang memadai, risiko makanan menjadi basi sangat besar.
Ia mengkritik bahwa banyak pelaksana di lapangan yang belum memahami risiko teknis dalam produksi makanan massal, termasuk standar efisiensi kerja.
Sultan menilai jumlah tenaga masak harus disesuaikan dengan kapasitas produksi untuk menjaga kualitas.
“Satu kelompok masak idealnya delapan orang bisa untuk 50 porsi. Jadi kalau mau 3.000 porsi ya tinggal dibagi saja. Itu lebih logis daripada satu unit disuruh bikin 3.000 porsi,” terangnya.
Oleh karena itu, Sultan menekankan pentingnya sistem pengawasan dan sertifikasi dapur yang realistis dan berkelanjutan, bukan sekadar formalitas.
Dapur yang masih menggunakan peralatan terbatas, seperti arang atau elpiji, dinilai tidak akan mampu menyiapkan ribuan porsi makanan tanpa menurunkan kualitas dan keamanan pangan, yang berujung pada potensi keracunan.
“Hal-hal seperti itu kalau tidak dipahami mereka yang berada di dapur, sampai kapan pun keracunan masih akan ada. Jadi memang perlu evaluasi secara menyeluruh,” tandasnya lagi.
Sultan kembali mengingatkan, dapur tradisional dengan peralatan terbatas tidak mungkin mampu menyiapkan ribuan porsi makanan dalam waktu singkat tanpa menurunkan kualitas dan keamanan pangan.
“Yang 50 porsi saja mungkin bangunnya sudah setengah lima pagi. Kalau 3.000 porsi, ya harus mulai tengah malam. Terus disuruh makan jam 10 pagi, ya pasti keracunan,” pungkasnya.***