Jakarta – Ketua Pusat Studi Kekayaan Alam (Pusaka), Ronny Setiawan, menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI ke-2 HM Soeharto seharusnya dipandang secara objektif dan berkeadilan sejarah.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menilai pemimpinnya secara utuh, tidak hanya dari luka masa lalu, melainkan juga dari jasa dan kontribusi yang nyata bagi negara”, kata Rony dalam keterangan tertulisnya.
Menanggapi pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam seminar internasional peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar, Jawa Timur (1/11/2025), yang menyebut keberatannya atas pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena alasan personal keluarga, Ronny menilai hal tersebut sebagai ekspresi manusiawi, tetapi perlu diletakkan dalam bingkai kebangsaan yang lebih luas.
“Saya memahami perasaan Ibu Megawati sebagai anak dari proklamator bangsa. Luka sejarah tentu tidak mudah dihapus. Namun dalam konteks kebangsaan, penghargaan terhadap jasa seseorang tidak boleh diukur dari relasi pribadi atau peristiwa masa lalu yang bersifat emosional,” ujarnya.
Ia menegaskan, Soeharto adalah bagian dari sejarah besar Indonesia yang telah membawa negara ini melalui masa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi selama lebih dari tiga dekade. Meski kepemimpinannya tidak luput dari kontroversi, jasa dan kontribusinya terhadap fondasi pembangunan nasional tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Bangsa ini perlu berdamai dengan sejarahnya sendiri. Menghargai Soeharto bukan berarti melupakan sisi gelap masa lalu, melainkan mengakui bahwa beliau adalah bagian dari perjalanan panjang republik ini,” tambahnya.
Ronny juga menilai bahwa penolakan atas dasar dendam atau luka personal justru dapat memperpanjang polarisasi sosial dan politik yang tidak produktif bagi generasi penerus. Menurutnya, Indonesia harus mulai membangun tradisi politik kenegarawanan, di mana para pemimpin menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau emosi pribadi.
“Setiap pemimpin besar, termasuk Soekarno dan Soeharto, memiliki sisi terang dan sisi kelam. Namun keduanya tetap tokoh penting yang membentuk karakter Indonesia modern. Kita tidak boleh mewariskan dendam, melainkan keteladanan dalam menghargai perjuangan setiap anak bangsa,” tegasnya.
Ronny mengajak semua pihak, termasuk partai politik dan elemen masyarakat sipil, untuk menjadikan momentum perdebatan ini sebagai pelajaran moral tentang kedewasaan politik dan kebangsaan.
“Partai politik seharusnya menjadi teladan dalam menebarkan semangat rekonsiliasi dan persatuan. Jangan justru membiarkan perbedaan sejarah menjadi alasan untuk memperuncing konflik lama,” ujarnya.
Ia berharap agar bangsa Indonesia tidak terus berkutat pada luka masa lalu, melainkan melangkah maju dengan semangat saling menghargai dan membangun masa depan bersama.
“Sudah saatnya semua pemimpin nasional, baik yang masih aktif maupun yang telah wafat, diingat sebagai negarawan, bukan sekadar tokoh partai atau simbol masa lalu. Hanya dengan cara itu kita benar-benar menjadi bangsa yang dewasa,” pungkasnya.***

