Jakarta – Perlindungan negara terhadap jurnalis dan media dalam menjalankan fungsi informatifnya bagi publik merupakan suatu keharusan. Negara tidak boleh membiarkan praktik intimidasi dan teror berlangsung, karena hal tersebut mencerminkan ketidakmampuan negara dalam menjamin keamanan jurnalis.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan juru bicara Istana yang dianggap tidak bertanggung jawab dan kurang sensitif terhadap kasus teror yang menimpa Cica, jurnalis TEMPO, pada 19 Maret 2025.
“Pejabat publik seharusnya menunjukkan komitmen penegakan hukum dan mendukung pengungkapan pelaku teror, bukan malah menyudutkan korban,” tegas Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia dalam pernyataan bersama Minggu 23 Maret 2025.
TEMPO telah melaporkan teror kepala babi ke Mabes Polri pada 21 Maret 2025 dan menyerahkan barang bukti. Teror berlanjut dengan pengiriman enam bangkai tikus berkepala terpenggal ke halaman kantor TEMPO pada 22 Maret 2025 pukul 08.00 WIB.
Pada Sabtu dini hari, pukul 02.11 WIB, sebuah kotak kardus yang terbungkus kertas kado ditemukan di kompleks kantor TEMPO. Petugas kebersihan menemukan enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal di dalam kotak tersebut.
Tidak ada tulisan yang ditemukan pada kotak tersebut. Diduga, kotak tersebut dilempar oleh orang tak dikenal dari luar pagar.
Selain teror simbolis, jurnalis Cica juga menjadi sasaran serangan digital berupa doxxing. Insiden ini dipandang sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers dan keamanan jurnalis.
Rentetan insiden ini jelas bukan kebetulan, melainkan skenario intimidasi dan teror yang terencana. Pelaku harus segera diungkap dan diproses hukum.
KKJ menilai peristiwa ini sebagai sinyal kuat adanya upaya sistematis untuk mengintimidasi media kritis, melemahkan keberanian jurnalis, dan menebar ketakutan. Ini adalah serangan langsung terhadap kebebasan pers dan demokrasi. Ironisnya, kekerasan berulang ini diabaikan oleh aparat keamanan dan negara.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi kasus individual, tetapi ancaman sistemik terhadap kebebasan pers. Sayangnya, aparat penegak hukum gagal memberikan rasa aman, bahkan kasus yang dilaporkan pun terabaikan. Rangkaian kekerasan ini jelas merupakan penghalang-halangan kerja jurnalistik, melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers.
“KKJ mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini dan menjamin kebebasan pers. Jurnalis berhak bekerja tanpa rasa takut dalam menjalankan fungsi kontrol sosial,” kata Erick Tanjung.
Menanggapi serangkaian teror ini, KKJ menyatakan sikap tegas: Pertama, kami menuntut Kapolri dan jajarannya untuk segera mengusut tuntas pelaku, mengidentifikasi mereka, dan secara transparan mengumumkan perkembangan penyidikan kepada publik.
Kedua, kami mendesak Kepolisian untuk menangkap pelaku dan menjerat mereka dengan delik pidana, Pasal 170 ayat (1) atau Pasal 406 ayat (1) KUHP. Jika terbukti terkait peliputan, penyidikan harus merujuk Pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999.
Ketiga, polisi harus mengungkap motif teror dan memastikan tidak ada impunitas bagi mereka yang membungkam media.
KKJ juga menyampaikan desakan sebagai berikut: (1) Dewan Pers diharapkan untuk mengaktifkan Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian melakukan investigasi tuntas terhadap kasus ini, serta memantau dan menuntaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum terdata secara komprehensif.
Kedua, negara diharapkan untuk menjamin keselamatan jurnalis, termasuk hak untuk menjalankan pekerjaan tanpa ancaman, dan mengusut tuntas segala tindak kekerasan yang dialami jurnalis dengan proses yang adil.
“Kami mengajak seluruh komunitas pers, organisasi masyarakat sipil, dan publik diajak untuk menunjukkan solidaritas dalam melawan segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis,” tandasnya. ***