Ikan hias/humas kkp |
Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi ikan hias sebanyak 1,8 milyar ekor pada tahun 2020. Ikan hias menjadi salah satu sumber devisa yang bisa diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja perdagangan ikan hias dalam kurun waktu tahun 2012 sampai semester 1 tahun 2019 terus mengalami peningkatan. Tahun 2012 nilai ekspor ikan hias mencapai USD 21,01 juta, sementara tahun 2018 mencapai USD 32,23 juta.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan, bahwa capaian nilai ekspor ikan hias Indonesia berpeluang untuk terus digenjot. Saat ini share ekonomi ikan hias terhadap nilai ekspor produk perikanan mencapai 0,66%.
Slamet juga memastikan KKP akan mendorong strategi khususnya penguatan di hulu yakni dengan terus menggenjot produksi ikan hias bernilai ekonomis tinggi.
“Saya kira, kita akan mampu genjot produksi. Ada dua keunggulan kita, pertama potensi pengembangan dan varian komoditas bernilai ekonomis tinggi yang besar. Lebih dari 650 jenis ikan hias (tawar, dan laut) ada di perairan kita,” ujarnya baru baru ini
Pemanfaatan untuk jenis ekonomis tinggi akan terus kita dorong apalagi saat ini upaya perekayasaan teknologi sudah berkembang dengan baik.
Slamet menambahkan, saat ini KKP bersama dengan lintas sektoral terkait tengah menyempurnakan peta jalan (road map) percepatan industrialisasi ikan hias nasional.
Roadmap ini akan memetakan berbagai strategi konkrit yang meliputi percepatan produksi, pengaturan tata niaga, penguatan daya saing dan nilai tambah, investasi, serta perluasan dan penguatan pasar ekspor.
Slamet juga membeberkan bahwa selama kurun waktu 2012 hingga 2018, produksi ikan hias nasional tumbuh rata-rata sebesar 5,05% per tahun. Tahun 2012 produksi mencapai 938,47 juta ekor dan naik pada tahun 2018 menjadi 1,19 milyar ekor.
Jika dilihat dari capaian tahun sebelumnya, saya kira target produksi tahun ini sangat realistis.
Apalagi saat ini kita telah berhasil mengembangkan secara masal berbagai varian jenis semisal clownfish, banggai cardinal dan lainnya. Disamping itu ikan hias saat ini menjadi usaha yang sangat menjanjikan di kalangan masyarakat.
Jadi, Pemerintah tinggal siapkan regulasi dan memfasilitasi akses apa yang dibutuhkan pelaku usaha, selanjutnya mereka akan berkembang dengan sendirinya”, jelas Slamet.
Hasil survey pertanian 2013 (BPS, 2014) menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga pembudidaya ikan hias mencapai Rp. 50,48 juta per tahun atau sekitar Rp. 4,2 juta per bulan dan merupakan jenis usaha yang memiliki nilai tambah ekonomi paling tinggi.
“Saya kira ini yang bisa memicu animo masyarakat untuk terjun menekuni budidaya ikan hias. Saat ini kita akan menyasar pada jenis-jenis yang punya pangsa ekspor tinggi.
Catatan kami ada lima komoditas dominan yang dibudidayakan masyarakat untuk tujuan ekspor antara lain ikan arwana, koi, cupang, gapi, dan manvis.
Belum lagi saat ini kita sudah mulai fokus untuk menggenjot produksi jenis ikan hias air laut utamanya clownfish (nemo)”, imbuh Slamet
Ia menambahkan, bahwa paket teknologi RAS ini dapat diadopsi secara massal oleh masyarakat yakni dengan sistem mini RAS.
“Agar ini juga lebih memasyarakat, kami juga merancang mini RAS dan saat ini telah banyak diadopsi, seperti di Ambon dengan Kampung Nemonya”, kata Slamet. Disamping itu, penyediaan induk dan benih unggul menjadi fokus yang akan didorong dalam lima tahun kedepan.
Hal lain yang akan terus didorong, imbuh Slamet yakni pengembangan varian jenis ikan hias bernilai ekonomis penting. Ia mencontohkan keberhasilan BPBL Ambon yang telah mampu mengembangkan sebanyak 14 strain varian ikan hias clownfish (nemo).
Sedangkan pada tataran hilir, KKP bersama sektor terkait akan fokus pada perbaikan tata kelola niaga yang lebih efisien khususnya berkaitan dengan masalah distribusi dan biaya logistik yang masih tinggi.
“Saya kira masalah logistik ini perlu segera dibenahi. Bila perlu ada insentif khusus bagi komoditas ekspor, sehingga nilai tambah ekonominya tidak banyak hilang”, tegas Slamet. (rhm)