Jakarta – Bersama Koalisi Anti Pasal Penodaan Agama, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengecam keras upaya kriminalisasi terhadap Panji Gumilang karena mempidanakan pandangan dan amalan keagamaan yang berbeda adalah melanggar hak dan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan berkepercayaan.
Muhammad Isnur menyampaikan hal itu terkait polemik Pondok Pesantren Al-Zaytun dan pemimpinnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang yang mencuat ke publik sejak April 2023 dan kini memasuki babak baru.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang memenuhi panggilan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri Senin, 3 Juli 2023. Dia dimintai keterangan terkait laporan tindak pidana penodaan agama yang menggunakan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Kata Muhammad Isnur, Langkah kepolisian memproses laporan dengan delik penodaan agama terhadap Panji Gumilang sangat disayangkan.
Padahal, Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pola kriminalisasi terhadap terhadap pimpinan Al-Zaytun ini, menurut Muhammad Isnur, mirip dengan pola-pola kriminalisasi pada kasus-kasus penodaan agama sebelumnya.
Dalam pandangan YLBHI, mereka dihukum melalui proses pengadilan yang berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disertai dengan mobilisasi dan tekanan massa.
Karenanya Muhammad Isnur mengkhawatirkan aparat pemerintah dan penegak hukum, baik di pusat maupun daerah, tidak melakukan pencegahan dan penegakan hukum secara adil dan optimal, sebagaimana terjadi dalam kasus kriminalisasi sebelumnya.
Menurutnya, ketika MUI sangat agresif dan massa diberikan tempat untuk mengintimidasi bahkan mengancam dengan kekerasan.
“Polisi harus menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, karena terus berulang merampas hak dan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi,” desak Muhammad Isnur dalam keterangan tertulisnya Selasa 4 Juli 2023.
Selain itu, SETARA Institute mencatat bahwa penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai ‘peradilan’ oleh tekanan massa (trial by mob). Pasal-pasal penodaan agama adalah ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur dan tidak memberikan kepastian hukum.
Padahal, pandangan dan ijtihad keagamaan Panji Gumilang adalah bentuk kebebasan beragama, berpendapat, dan berekspresi warga yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
“Kami menuntut pihak kepolisian untuk tidak tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, seperti MUI, yang memberikan fatwa (pendapat) tunggal dan tertutup atas pemahaman keagamaan Panji Gumilang,” tegas Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan.
Koordinator Nasional Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) Angelique Maria Cuaca turut mendorong semua pihak, dari mulai masyarakat, tokoh agama, para politisi hingga aparat dan pemerintah, untuk menghormati pandangan keagamaan atau keyakinan dan kepercayaan beserta ekspresinya yang dilakukan secara damai dan tidak melanggar hak-hak warga lainnya.
Selain menuntut aparat hukum menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang, Sobat KBB juga mengingatkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tidak membatasi dant menutup aktivitas Pondok Pesantren Al-Zaytun.
Pasalnya, tanggung jawab negara adalah memfasilitasi kebebasan beragama. Maka, sambung Angelique, pasal penodaan agama harus dihapus.
“Hentikan kriminalisasi dan kekerasan atas nama agama. Dewasalah menyikapi perbedaan dengan saling menghormati untuk membangun kebersamaan dan kehidupan yang bermartabat, penuh damai, di Indonesia,” Angelique Maria Cuaca menegaskan. ***