DENPASAR – Penggunaan Laut China Selatan yang sangat strategis dan penuh dengan perselisihan wilayah serta penempatan pangkalan militer yang ada hubungannya dengan Freedom of Navigation menjadi tantangan diplomasi Indonesia.
Hal itu disampaikan pPengamat Maritim, M Harjono Kartohadiprodjo, saat memberikan Kuliah Umum dengan tema “Melalui Ajaran Tri Sakti Bung Karno Kita Cipatakan Pahlawan Kemaritiman Pengamal Konstitusi”, di Fakultas Hukum Universitas Udaya akhir pekan lalu.
Dijelaskan, salah satu program Nawa Cita Pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla adalah mencanangkan Indonesia menjadi negara maritim dan poros maritim dunia.
Hanya saja, ada tantangan, yang jika tidak diatasi dengan baik, menyebabkan cita-cita menjadikan Indonesia poros maritim dunia itu gagal terwujud.
Salah satu tantangannya terkait diplomasi maritim. negara Indonesia yang berfungsi sebagai poros maritim dunia memiliki 10 perbatasan laut dari 12 perbatasan dengan negara tetangga.
Kondisi ini memiliki potensi munculnya persoalan diplomatik, yang meliputi pertama, Freedom of Navigation, mengingat Indonesia tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam keputusan UNCLOS, dan pasal 11 UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
“Hal ini terkait penggunaan Laut China Selatan yang sangat strategis dan penuh dengan perselisihan wilayah, dan penempatan pangkalan militer yang ada hubungannya dengan Freedom of Navigation,” jelasnya.
Karena Laut Tiongkok Selatan merupakan rute lewatnya barang-barang perdagangan dunia senilai USD 5,3 Trliun.
Kedua, terjadinya tumpang tindih wilayah perairan ZEE, sebagai akibat sama-sama sebagai anggota UNCLOS yang memiliki hak atas wilayah ZEE di wilayah Laut China Selatan.
Yakni, negara-negara RRT (Tiongkok)-Malaysia dan Indonesia karena masing-masing negara mengemukakan dalil sejarah negaranya dengan wilayah tersebut..
Ketiga, terjadinya konflik wilayah dan kepulauan di Laut China Selatan antara RRT dengan Brunei, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam dan Taiwan.
Masing-masing negara menempatkan pangkalan militernya, karena Laut China Selatan memikiki kekayaan alam berupa 11 Bilion Barrels Minyak Bumi dan 190 triliun Cubic Feat Gas Bumi,” katanya.
Menghadapi tantangan tersebut, Harjono mendorong pemerintah Indonesia agar pendekatan diplimasi maritimnya memanfaatkan hasil Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, yakni Dasa Sila Bandung menjadi landasan kerja sama ekonomi bagi kesejahteraan anggota-anggotanya.
Diplomasi maritim menjadi semakin penting karena perairan Indonesia menjadi penting bagi perdagangan dunia.
“Karena kepentingan negara-negara asing terhadap wilayah Indonesia semakin bertambah, dan kepentingan nasional bangsa Indonesia dalam menjaga wilayah kedaulatannya menjadi semakin penting,” tegas Harjono. (rhm)