Kriminolog Dr Made Swardhana Sarankan Jalan Tengah Selesaikan Kasus Penutupan Kantor Hukum di Badak Agung

Dalam kasus penutupan kantor hukum di kawasan Badak Agung Denpasar para pihak berkepentingan disarankan Kriminolog Gde Made Swardhana duduk bersama mencari jalan tengah.

30 Juli 2023, 16:38 WIB

DenpasarKriminolog Universitas Udayana, Dr. Gde Made Swardhana, menyarankan dalam kasus penyegelan kantor hukum di kawasan Badak Agung Denpasar para pihak berkepentingan untuk duduk bersama mencari jalan tengah.

Apalagi, kasus penutupan kantor hukum di kawasan Badak Agung tersebut kini telah berkembang menjadi opini dan menjadi perhatian publik.

Kriminolog Gde Made Swardhana pun angkat bicara atas kasus penutupan pintu kantor hukum di Badak Agung Denpasar yang kemudian masuk ke ranah hukum belum lama ini.

Gde Made Swardhana, mengaku prihatin dengan berkembangnya opini yang tidak tepat di sejumlah media massa terkait laporan penyegelan.

Setelah mempelajari kasusnta, dia menemukan berdasar latar belakang, bahwa kasus Badak Agung dilatari perjanjian antar dua pihak.

Pihak pertama diwakili Ida Tojokorda Ngurah Jambe Pemecutan (alm) dan Made Suardana SH dan istrinya, selaku pihak kedua yang diberi amanat untuk memecah lahan di Badak Agung yang merupakan Laba Pura Merajan Satria seluas 12 hektar sudah dimohonkan sertifikat oleh almarhum, Tjokorda Ngurah Mayun Samirana (sebelum jadi raja) pada tahun 1991 terdiri dari 32 sertifikat.

Pihak kedua bahkan sudah diberi hibah berupa lahan seluas 3 are lebih yang kemudian dibangun kantor hukum di atas lahan tersebut.

“Sampai kasus terjadi, pihak kedua tidak merealisasikan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian,” tuturnya dalam keterangan tertulis Minggu 30 Juli 2023.

Dari latar belakang masalahnya, tindakan yang dilakukan pengembang di Badak Agung, menurutnya bukan penyegelan, tapi lebih memberikan ‘shock teraphy; kepada pihak kedua yang belum memenuhi kewajibannya.

Karena itu, dia menilai hal berlebihan jika dikatakan tindakan itu disebut penyegelan. Yang boleh melakukan penyegelan hanya pihak berwenang atas izin pengadilan negeri.

Lanjut dari analisanya, berdasar fakta lapangan, penutupan pintu itu tidak ada tanda segel, juga tidak ada police line. Sehingga pihaknya memastikan pihak pengembang Badak Agung tidak melakukan penyegelan sebagaimana dituduhkan.

Diakui Gde Made Swardhana, dirinya telah memberikan pendapat selaku ahli di penyidik Polresta Denpasar terkait laporan Made Suardana dengan tuduhan merampas kemerdekaan orang lain sebagaimana pasal 335 KUHP.

Atas berkembangnya opini terkait tuduhan pemerasan oleh pihak pengembang menurut Gde Made Swardhana, hal itu tidak mungkin dilakukan warga Puri.

Sekali lagi, mengaitkan kasus ini terlalu berlebihan oleh pihak pelapor.

“Saya pahami dari kronologis masalahnya, pihak kedua ini ada membeli tanah seluas 6 are (bukan di subjek yang dilaporkan), namun kewajiban bayarnya belum dilunasi, sehingga wajar pihak pertama untuk menagih haknya,” ungkap dia.

Dia menyayangkan penagihan itu dikaitkan dengan biaya pelebon almrahum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan belum lama ini.

Ibarat pepatah jauh panggang dari api. Jika Pelebon Ida Tojokorda tak perlu menagih dana tanah itu sudah selesai.

Bahkan, dirinya idak melihat adanya indikasi premanisme kasus tersebut. Hal itu bisa dilihat dari tidaj adanya ancaman dan perusakan. Apalagi pihak pengembang sudah menegaskan yang melakukan penutupan pintu adalah karyawan yang bekerja di pengembangan kawasan Badak Agung.

Kendati begitu, kriminolog Gde Made Swardhana, mengimbau para pihak dalam kasus ini bisa duduk bersama guna menemukan jalan terbaik.

“Selain bertujuan menjaga martabat puri, juga menemukan jalan yang berlandaskan keadilan restoratif,” tukas dia.

Lanats, siapa yang memulai?.Inisiatifnya boleh dari siapa saja dalam perkara ini karena tujuannya untuk menyelesaikan masalah.

“Ada baiknya tambah dia, pihak kedua yang punya kewajiban memulai komunikasi menemukan jalan tengah,” saran Gde Made Swardhana. ***

Artikel Lainnya

Terkini