Jakarta – Kantor Staf Presiden (KSP) membantah penilaian bahwa diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja hanya melindungi kepentingan pengusaha.
Tenaga Ahli Utama KSP, Fadjar Dwi Wisnuwardhani, menegaskan sebaliknya, Perppu Cipta Kerja justru berdiri di atas kepentingan semua pihak, termasuk pekerja dan pelaku UMKM.
Regulasi yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 lalu, sebagai upaya untuk mensinkronkan aturan regulasi yang sudah ada.
Kata Fadjar Dwi Wisnuwardhani, Perppu ini menyederhanakan proses birokrasi agar dapat mendorong penciptaan perluasan kesempatan kerja dan juga perekonomian secara keseluruhan.
Pihaknya menilai tujuan itu bukan hanya mewakili satu elemen saja.
“Tetapi juga berdiri di atas kepentingan pekerja, pelaku UMKM dan sebagainya,” kata Fadjar Dwi Wisnuwardhani dari keterangan terulis Kamis (5/1/2021).
Perppu Ciptaker, telah mengakomodir penyerapan aspirasi masyarakat dan memberikan penjelasan atau informasi ke publik untuk menghindari mispersepsi.
Dicontohkan bagaimana pihak pengusaha mengeluhkan upah minimum dalam PP No 78 tahun 2015 yang dianggap terlalu tinggi. Pada satu sisi, pekerja mengeluhkan upah minimum yang dianggap rendah dalam aturan PP No 36 tahun 2021.
Menurutnya, formula upah minimum dalam Perppu Cipta Kerja menjadi bukti bahwa pemerintah memiliki keinginan untuk memoderasi, mendengarkan aspirasi dari masyarakat serta untuk berdiri di atas semua pihak dan kepentingan.
Melansir pernyataan Presiden Jokowi bahwa regulasi ini, mengedepankan investasi pun bertujuan untuk menjaga keberlangsungan negara.
Karenanya, persepsi tentang keberpihakan memang akan selalu muncul, baik dari sisi pengusaha maupun pekerja dan ini tidak hanya terjadi pada Perppu Cipta Kerja, tapi juga terjadi pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya.
Dia meluruskan mispersepsi Perppu Cipta Kerja yang mengatur libur kerja satu hari dalam sepekan yang berkembang di publik. Pengaturan mengenai durasi hari kerja tidak mengalami perubahan.
Hal ini tertuang dalam Perpu Cipta Kerja Pasal 77 Ayat 2 bagian Ketenagakerjaan dimana telah ditentukan bahwa waktu kerja adalah 7 jam sehari berlaku untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
“Di luar waktu yang disepakati itu tentu dihitung sebagai overtime, tidak bisa bersifat sukarela pekerja,” demikian Fadjar Dwi Wisnuwardhani. ***