DENPASAR – Sejumlah aktivis organisasi lintas agama seperti Peradah Bali, KMHDI dan GP Anshor menyerukan perlawanan terhadap kekerasan berkedok agama, intoleransi hingga radikalisme belakangan ini dinilai memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.
Sikap perlawanan terhadap intoleransi dan radikalisme itu digaungkan di sela Diskusi Kebangsaan yang bertajuk “Spirit Gandhi Melawan Kekerasan, Intoleransi dan Radikalisme” di Ashram Gandi Puri di Denpasar, Senin (30/1/17).
Kaum muda dan tokoh lintas agama merasa prihatin dengan kondisi yang ada saat ini termasuk di Bali dengan maraknya ujaran kebencian dengan lantang dan blak-blakan diproklamirkan di ruang publik hingga media sosial.
Parahnya lagi, bibit-bibit konflik tersebut tidak bisa disikapi dengan sesegera mungki noleh aparat keamanan. Negara dinilai lambat untuk hadir. Meskipun demikian, optimisme untuk merajut kebhinekaan terus diupayakan melalui nilai-nilai universalitas tiap-tiap agama.
Itulah beberapa catatan penting dari Diskusi Kamisan IHDN yang bertujuan membangun wacana balik mengenai isu intoleransi yang selama ini santer menjadi konsumsi masyarakat. Diskusi menghadirkan akademisi dan organisasi lintas agama ini juga ingin menyamakan persepsi mengenai nilai-nilai keagamaan yang tak bertentangan dengan perbedaan.
Pengasuh Ashram Gandhi Puri BR ndraUdayana sebagai embicara nti dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa elakangan ini kekerasan hadir dalam berbagai bentuk.Takhanyamelaluiaksi di jalanan melainkan juga kekerasan verbal di dunia maya (media sosial). Mulai dari menyebarkan berita bohong (hoax), kebencian, menghasut hingga memprovokasi.
“Radikalisme,kekerasan dan intoleransi saat ini menyebar dimana-mana dengan kehadiran Medsos. Kita dengan mudah mengomentari, share dan like tautan informasi yang sumbernya tidakjelas”, kata Indra Udayana. Kata dia, nilai-nilai kesantunan, etika, moralitas, karakter, kemanusiaan, engorbanan dan prinsip perlahan tak lagi mencirikan Indonesia yang berbhineka dan berbudaya.
“Hal itu, sebagai tujuh dosa sosial dalam pandangan tokoh Hindu Mahatma Gandhi yang tetap relavan dengan kondisi saat ini,” sebut tokoh muda yang cukup dekat dengan mendiang Abdurrahman Wachid alias Gus Dur semasa hidup.
Dalam pandangan akademisi IHDN Dr I Gede Sutarya menguraikan kekerasandan radikalis memerupakan warisan kolonial yang terus ‘lestari’ sampai saat ini. Berkaca dari kekerasan G 30 S/PKI misalnya di tahun 1965.
Disamping itu, kekerasan maupun radikalisme kata Sutarya tak terlepas dari ketidakadilan dari sistem ekonomi di Indonesia yang hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Akibatnya, untuk ‘melawannya’ gerakan-gerakan intoleransi, kekerasan bahkan radikalimse mengatasnamakan kelompok, etnism aupun agama tertentu rentan terjadi.
Kondisi itu, diperparah lagi, ormas tertentu berafliasiasi terhadap partai politik yang memberikan lampuh ijau. Inisiator Diskusi Kamisan di IHDN Denpasar ini memberi ruang bagi para organisasi kepemudaan lintas agama atas pandangan terhadpa isu intoleransi yang belakangan menyita perhatian publik.
Ketua PW GP Ansor Amron Sudarmanto menegaskan bahwa gerakan intoleransi yang mewabah belakangan terlebih mengatasnamakan agama Islam hanyalah kedok belaka. Menurutnya, spirit setiap agama untuk menjungjung tinggi kebhinekaan dan cinta kasih itu adalah sebuah keniscayaan.
Menurutnya, NKRI sudah final danhargamati. Sehingga setiapa nakbangsa maupun tokoh agama wajib merawatnya sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Sementara itu I Komang Agus Widiantara dari DPP Peradah Bali menilai dialog atau diskusi merupakan jalan tengah untu kmenyikapi kompleksitas kehidupan beragama.
Kesaling curigaan ditambah tafsir yang beragam dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi yang Berbeda jika tidak dipertemukan dalam sebuah wadah untuk membangun komunikasi. “Semakin intensif berdialog semakin baik. Organisasi pemuda antar agama inilah yang akan menjadi benteng strategis merawat kerunanan khusunya di Bali”, ucapnya.
Diakhir diskusi diisi dengan penyampaian pernyataan sikap atas spirit Mahatma Gandhi melawan kekerasan, Intoleransi dan radikalisme diantaranya agama. Mesti memperhitungkan urusan praktis untuk memecahkan permaslahan, menolak kekerasan dan intoleransi sebagai hambatan dalam perkembangan spirit demokrasi sejati di Indonesia. (rhm)