Yogyakarta – Jogja Memanggil menggelar aksi besar-besaran di depan DPRD DIY pada Kamis (20/3/2025). Ratusan massa turun ke jalan, menolak keras pengesahan UU TNI yang baru. Mereka menuntut DPR RI mencabut UU tersebut melalui DPRD DIY.
Dengan pakaian hitam dan poster tuntutan, massa aksi yang awalnya dijadwalkan tiba pukul 08.00 WIB, baru memadati lokasi pada pukul 11.00 WIB.
Di tengah terik matahari, bendera Merah Putih diangkat tinggi-tinggi, bukan sebagai simbol kebanggaan, melainkan tanda ‘matinya demokrasi’.

Massa aksi merasa suara mereka dibungkam. Seorang perempuan dari UPN dengan suara bergetar mengingatkan, masuknya militer ke ranah sipil adalah mimpi buruk bagi kaum perempuan, membuka luka lama penumpasan Gerwani dan misteri kematian Marsinah.
“Seorang mahasiswa dari UPNV Yogyakarta maju ke depan, matanya berkilat marah. ‘Kita harus belajar dari masa lalu,’ katanya, suaranya bergetar, ‘banyak peristiwa berdarah yang seharusnya jadi pelajaran. Tapi lihat, Prabowo dan antek-anteknya justru ingin mengulang sejarah kelam itu.
Hanya satu kata: lawan! Bayangkan, saat kita berorasi, moncong senjata mengarah ke kita. Mereka berdiri di sana, berjabat tangan, memakai seragam yang dibayar dengan keringat kita.’
Prioritas DPR dalam pengesahan UU dipertanyakan oleh Marsinah dari Jogja Memanggil, yang menyoroti aturan lain yang lebih penting.
Ia mengingatkan kembalinya situasi militeristik seperti era Soeharto, dengan dwifungsi ABRI/TNI yang berujung pada pembunuhan dan penahanan massal tanpa pengadilan, seperti tragedi Tanjung Priok dan Santa Cruz, serta krisis moneter 1998.
Marsinah mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang dibahas secara tertutup di sebuah hotel mewah di Jakarta.
Ia menilai RUU tersebut memiliki sejumlah kekurangan, antara lain tidak adanya naskah akademik yang komprehensif, tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2025, tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, dan minimnya partisipasi publik.
‘Hal ini membuktikan bahwa perumusan RUU TNI cacat prosedural. RUU ini prematur, serampangan, dan sarat konflik kepentingan, sehingga sangat layak untuk digagalkan,’ tegas Marsinah.
Marsinah memberikan contoh kasus pada 2023 terhadap Kepala Basarnas yang merupakan perwira aktif militer melakukan korupsi senilai Rp 88,3 miliar untuk alat pendeteksi reruntuhan. Kasus yang seharusnya berada di bawah kewenangan peradilan sipil karena merupakan sektor layanan publik tersebut malah diadili dengan peradilan militer yang eksklusif.
“Malahan KPK meminta maaf terhadap militer atas penetapan tersangka pada perwira aktif. Dengan ini, arah perjuangan rakyat sudah jelas yakni gagalkan Revisi UU TNI dan makzulkan Prabowo-Gibran sebagai biang kerok atas segala persoalan yang terjadi belakangan ini!,” tegasnya.
Ditengah-tengah aksi, massa menyerukan perwakilan DPRD DIY untuk menemui massa. Beberapa saat kemudian, Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto menemui massa secara langsung.
“Saya bertanggung jawabkan secara politik maupun secara hukum
ya. Kita bersama-sama berjuang untuk tidak terjadinya dwifungsi atau multifungsi,” ucap Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto dihadapan massa aksi.
Politisi PDIP tersebut mengaku akan meneruskan aspirasi massa ke DPR RI untuk membatalkan UU TNI yang baru disahkan. Hal ini dibuktikannya dengan menandatangani press release tuntutan.
“Aspirasi dari kawan-kawan kita akan teruskan ke pemerintah pusat dan ke DPR RI. Sekarang juga boleh. (Misal) kalau hari ini kawan-kawan bikin surat, saya akan teruskan langsung dan saya ikut tanda tangan,” ujar Eko.
“(Sekali lagi) upaya untuk pembatalan RUU yang sudah disahkan tadi pagi, maka aspirasi kawan-kawan kita akan teruskan ke pemerintah pusat dan ke DPR RI. Kita sama-sama sampaikan siapa yang nulis legalitas draftingnya,” pungkas Eko.
Namun, massa aksi Jogja Memanggil mengaku tak puas terhadap statement perwakilan legislator DIY tersebut. ***