Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta Kecam Diskriminasi Apartheid Israel

25 Mei 2021, 17:38 WIB

Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY) Turun ke Jalan Gelar Aksi Kecam
Diskriminasi Apartheid Israel dengan menyebarkan infografis mengenai
apartheid kepada pengguna jalan, di perempatan Jalan Jenderal Sudirman,
Yogyakarta/Dok.LMMY

Yogyakarta – Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY) menggelar aksi
untuk menyatakan sikap atas segala bentuk kejahatan apartheid otoritas Israel.

Aksi aksi turun ke jalan dilakukan dengan menyebarkan infografis mengenai
apartheid kepada pengguna jalan, di perempatan Jalan Jenderal Sudirman,
Yogyakarta, Senin 24 Mei 2021.

Selain itu, aksi sebagai bentuk pembelaan terhadap segala bentuk penindasan,
solidaritas dan dukungan terhadap saudara semuslim, dan penjagaan terhadap
nilai nilai kemanusiaan serta Hak Asasi Manusia yang berlaku universal.

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sleman dan Koordinator LMMY Sleman
Dimas Suryo Pamujo, melalui pernyataan sikapnya mengecam tindakan-tindakan
diskriminasi dan pelanggaran kemanusiaan dalam bentuk apartheid yang dilakukan
oleh pemerintah Israel.

“LMMY mengajak untuk menggalang solidaritas sebagai seorang manusia, dengan
membantu menyebarkan dukungan, pencerdasan, penolakan, hingga protes melalui
sosial media dengan cara cara konstitusional terhadap isu kemanusian yang
terjadi di Palestina,” tutur Dimas.

Dimas mengajak seluruh umat beragama dan setiap manusia yang masih memiliki
hati nurani untuk menyertakan doa dalam setiap ibadahnya untuk kebaikan dan
perdamaian dunia.

“LMMY Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk turut aktif menyuarakan
sikap dan menekan Israel untuk menghentikan aksinya dalam forum-forum
internasional, serta menginisiasikan solusi yang jelas,” ujar Dimas.

LMMY juga mendorong organisasi internasional seperti PBB dan negara-negara
anggota di dalamnya untuk bersikap atas kejahatan atas kemanusiaan yang
terjadi serta memberikan solusi atas penyelesaian konflik.

Menurut Dimas, kebijakan yang mendorong kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
bentuk apartheid oleh pemerintah Israel didasari atas ketidakstabilan politik
dalam kabinet Benjamin Netanyahu sehingga memfasilitasi tumbuhnya pengaruh
dari sayap kanan.

“Apartheid merupakan salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan terburuk yang
menyalahi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, dengan ciri khasnya berupa
dominasi dan penindasan secara sistematis oleh satu kelompok ras, etnis, dan
lain-lain; terhadap kelompok yang berlainan ras, etnis, dan lain-lain,” ungkap
Dimas.

Dimas menuturkan, tindakan apartheid ini serupa dengan kebijakan manifest
destiny yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada abad ke-19 yang mengambil
tanah-tanah suku asli Amerika dan memberikannya kepada orang kulit putih.

“Propaganda yang dikeluarkan oleh Israel pun serupa dengan pemikiran the white
man burden yang diadopsi oleh bangsa Barat pada era Ratu Victoria yang
menganggap tanah jajahannya sebagai daerah tidak berbudaya dan terbelakang
sehingga perlu dididik oleh bangsa kulit putih penjajah,” terang Dimas.

Dimas menjelaskan, kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk apartheid telah
dilakukan oleh Israel, bahkan sejak dalam hukum. Knesset pada 2018 telah
mengesahkan Nation-State Bill, yang mengafirmasi Israel sebagai ‘negara bangsa
orang-orang Yahudi’, dan membangun ‘pemukiman Yahudi’ sebagai nilai nasional.

Selain itu, dengan diberlakukannya struktur kewarganegaraan dua tingkat serta
percabangan kebangsaan dan kewarganegaraan mengakibatkan warga Palestina
memiliki status lebih rendah daripada warga Yahudi menurut undang-undang
Israel.

Dimas menyampaikan, bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan Israel atas
Palestina antara lain pembatasan besar-besaran terhadap pergerakan barang dan
orang Palestina; penyitaan sebagian besar tanah-tanah mereka; penerapan
keadaan yang keras.

Kemudian penolakan kategoris terhadap izin mendirikan bangunan di sebagian
besar Tepi Barat; pemindahan paksa; penolakan hak tinggal untuk ratusan ribu
warga Palestina dan kerabat mereka.

“Serta penangguhan hak-hak sipil dasar, seperti kebebasan berkumpul dan
berserikat, merampas kesempatan warga Palestina untuk bersuara dalam berbagai
urusan dan kepentingan dasar mereka,” tegas dia.

Bentuk-bentuk tersebut, kata Dimas, telah memenuhi unsur-unsur utama definisi
apartheid menurut Konvensi Apartheid 1973 dan Statuta Roma 1998; sebagaimana
laporan yang telah diterbitkan oleh Human Rights Watch pada 2021.

“Normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel, serta digunakannya
hak veto yang memperlambat pengambilan keputusan di organisasi internasional
seperti PBB menyebabkan sulitnya mengimplementasikan solusi perdamaian abadi
antara Israel-Palestina,” imbuh Dimas.

Sekira 40-an mahasiswa berasal dari HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Sleman,
Mahasiswa Pencinta Islam (MPI) Yogyakarta, Keluarga Mahasiswa Muslim Pertanian
(KMMP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Keluarga Muslim Fakultas MIPA (KMFM)
UGM, Syariah Economics Forum UGM (SEF UGM), Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan
(KMIK) UGM, Jamaah Muslim Geografi (JMG) UGM, Jamaah shalahudin (JS) UGM.

Aksi turun ke jalan dilakukan dengan menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes)
Pengendalian dan Pencegahan Penularan dan Penyebaran Covid-19.

Yakni Memakai masker, Mencuci tangan dengan sabun dan Menyemprotkan hand
sanitizer, dan Mencegah kerumunan dengan Menjaga jarak dan Membatasi mobilitas
dan interaksi (3M).

Sebelum aksi, mahasiswa menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Ini sekaligus sebagai ajakan untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya secara
kontinyu di ruang publik untuk mengobarkan nasionalisme rakyat Indonesia yang
dilandasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sesuai Surat Edaran Gubernur DIY No.29/SE/V/2021, yang dikeluarkan pada 18 Mei
2021. (ags)

Berita Lainnya

Terkini