LNG Sidakarya: Solusi Energi Bersih atau Masalah Baru untuk Bali?

Proyek pembangunan Terminal Apung LNG di Desa Sidakarya, Denpasar Selatan, masih menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.

23 Juni 2025, 19:04 WIB

Denpasar – Proyek pembangunan Terminal Apung LNG di Desa Sidakarya, Denpasar Selatan, masih menimbulkan banyak pertanyaan.

Ketika Konservasi Bertabrakan dengan Industri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Denpasar belum lama ini menggelar talkshow “Menakar Dampak Pangkalan LNG Terhadap Pariwisata Kota Denpasar”.

Namun, alih-alih mendapatkan penjelasan gamblang tentang dampak proyek 500 meter dari bibir Pantai Serangan ini, para narasumber, termasuk Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. I Nyoman Sunarta, praktisi pariwisata I Made Mendra Astawa, Ngurah Paramartha, dan Yosep Yulius Diaz, justru menyoroti urgensi pariwisata berkelanjutan dan Tri Hita Karana di Bali.

“Bali harus menjadi laboratorium hidup. Yang dibutuhkan adalah membangun destinasi pariwisata berkualitas sesuai carrying and capacity,” tegas Prof. Sunarta, menyiratkan bahwa pembangunan harus bijak dan tidak serakah.

Ngurah Paramartha dari industri pariwisata secara blak-blakan menyoroti Serangan yang tak henti menjadi pusat isu pembangunan.

“Bali tidak pernah mencitrakan dirinya sendiri, namun banyak muncul keriuhan,” kritiknya. Ia juga menegaskan bahwa lokasi pembangunan LNG berdekatan dengan kawasan suci Pura Sakenan, padahal pembangunan industri seharusnya tidak berada dalam radius 2 km dari kawasan suci.

“Soal sampah, dermaga, reklamasi, dan sekarang LNG. Mengapa semuanya harus di situ?” tanyanya dengan nada bertanya-tanya.
Senada, pemerhati pariwisata I Made Mendra Astawa mengingatkan bahwa meski kepentingan ekonomi selalu ada, namun masih ada ruang untuk memilih lokasi investasi.

“Pembangunan bukan menjadi tontonan wisatawan,” ujarnya, menekankan pentingnya menjaga warisan leluhur demi Bali yang berkelanjutan. “Jadikan Bali the last heritage of Nusantara. Jangan sampai ekonomi menghancurkan warisan leluhur!” serunya.

Suara Penolakan Menguat: Pulau Penyu Terancam?

Pelaku pariwisata Yusdi Diaz mendesak agar isu LNG ini dibuka lebar kepada publik. “Masyarakat berhak memberikan masukan dan tidak harus diwakilkan oleh suara asosiasi,” tegasnya.

Ia pun mempertanyakan kurangnya diskusi terbuka dari pemerintah mengenai arah pembangunan Bali. Kekhawatiran terbesar Yusdi adalah nasib Pulau Serangan yang identik dengan pulau penyu.

“Bagaimana penyu bisa pulang untuk bertelur? Karena penyu akan pulang di tempat yang sama. Bali mau dibawa ke mana, tetap mempertahankan warisan atau short term business?” gugatnya.

Puncak ketegangan terjadi saat sesi tanya jawab, di mana dua peserta secara tegas menolak proyek LNG Sidakarya. Wayan Patuh, seorang aktivis lingkungan dari Desa Serangan, dan Yoga, advokat muda di Denpasar, menyuarakan keberatan mereka.

“Mengapa Bali selatan, khususnya Sanur dan Serangan, menjadi pusat pembangunan? Terlihat semuanya menumpuk di sana, padahal sudah padat aktivitas pariwisata dan permukiman penduduk. Ini jelas berdampak pada kenyamanan tamu atau wisatawan. Apa ini yang disebut Nangun Sat Kerthi Loka Bali?” kritik Yoga tajam.

Wayan Patuh menambahkan ancaman mengerikan jika LNG Sidakarya dibangun.

“Akan ada kapal besar 300 meter dan tinggi 40 meter, sama seperti kita pergi ke Paiton. 24 jam dia harus terang. Pembangunan LNG Sidakarya tentu akan berdampak pada kerusakan lingkungan, mangrove, dan terumbu karang. Apalagi kalau dikeruk dan didredging. Laut dan isinya pasti rusak dan hancur semua!” kecamnya, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan dampak menyeluruh pada pariwisata dari berbagai perspektif: lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kontroversi LNG Sidakarya semakin meruncing ketika dibandingkan dengan kasus tambang nikel di Raja Ampat, yang pada akhirnya dicabut izinnya atas perintah Presiden Prabowo Subianto.

Kini, nasib serupa seolah menanti Bali. Proyek Floating Storage Regasification Unit (FSRU) LNG Sidakarya dinilai terlalu dipaksakan, terutama mengingat kondisi sosial dan lingkungan pesisir yang rentan.

Padahal, di Bali Utara, tepatnya di Celukan Bawang, Buleleng, sudah ada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 900 MW lengkap dengan LNG hub.

“Lalu, mengapa Sidakarya tetap jadi pilihan?” tanya Ketua LMND Eksekutif Wilayah Bali, I Made Dirgayusa, pada Kamis (19/6/2025).

Pertanyaan ini semakin relevan mengingat Sidakarya terletak di kawasan padat penduduk, dekat wisata Sanur, dan zona konservasi Tahura Ngurah Rai. Wilayah ini juga menjadi ruang hidup nelayan dan masyarakat adat Sanur, Intaran, dan Serangan.

Proyek ini disebut-sebut akan mengeruk laut hingga kedalaman 20 meter, berpotensi merusak terumbu karang, padang lamun, serta mencemari ekosistem dan mata pencarian lokal.

Ngurah Paramartha kembali mengkritik keras lokasi Terminal Apung LNG yang berdekatan dengan kawasan suci Pura Sakenan dan menyoroti kecenderungan semua proyek bermuara ke Serangan.

Sementara itu, I Made Mendra Astawa dengan tegas mengingatkan bahwa investasi tidak boleh menghancurkan warisan leluhur.

“Jadikan Bali sebagai warisan terakhir Nusantara,” ujarnya, memohon agar Bali tidak kehilangan jati dirinya.

Narasi “Energi Bersih” yang Dipertanyakan

Pasca-pemadaman listrik massal di Bali, Komisi III DPRD Bali pada 6 Mei 2025 mendatangi PLTU Celukan Bawang. Ketua Komisi III, Nyoman Suyasa, menekankan peran vital pembangkit ini sebagai penyumbang 30 persen energi Bali.

Ia juga menyoroti penggunaan bahan bakar gas di Celukan Bawang sebagai langkah menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan berkapasitas besar hingga 900 MW jika dua unit dijalankan, dinilai cukup untuk menjamin pasokan listrik Bali secara menyeluruh.

“Isu LNG Sidakarya harus secara jujur disampaikan, jangan bilang bahwa LNG ini akan menyelesaikan persoalan listrik. Soal listrik mati ini kan soal mesinnya yang mati, bukan bahan bakarnya habis,” urainya.

Yusdi Diaz juga menambahkan bahwa memaksakan pembangunan di Sidakarya hanyalah gimik.

“Tempat itu tidak layak untuk terminal, kalau mau mandiri, buat yang besar sekaligus di tempat lain, entah di utara, entah di timur, yang mana lebih memungkinkan kita buat yang besar dan bisa menyuplai seluruh Bali,” ungkapnya.

Saat ini, PT Dewata Energi Bersih (PT DEB), joint venture antara PT Padma Energi Indonesia dan Perusda Bali dengan dukungan teknis dari PT Titis Sampurna, tengah mendorong pembangunan Terminal Apung LNG setinggi 50 meter, sekitar 500 meter dari Pantai Mertasari, Sanur.

Dengan narasi transisi menuju “Energi Bersih”, gas alam – yang sejatinya tetap bahan bakar fosil – dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan, meski banyak pihak menolak klaim ini.

Terminal ini dirancang beroperasi 20 tahun dengan investasi diperkirakan Rp 4,5 triliun, dan nilai transaksi pembelian gas oleh PLN bisa mencapai Rp 30-40 triliun. Skala proyek sebesar ini menuntut transparansi dan partisipasi publik penuh.

Kasus LNG Sidakarya ini mencerminkan pola serupa dengan proyek tambang nikel di Raja Ampat: dibungkus narasi energi bersih, namun menyimpan potensi bahaya lingkungan dan sosial yang besar. ***

Berita Lainnya

Terkini