JAKARTA – Kasus ibu Nuril, staf sebuah SMA di Mataram, NTB, menjadi contoh nyata rentannya posisi korban kekerasan seksual.
“Korban sudah menderita akibat peristiwa pidana, masih mengalami penderitaan akibat dilaporkan atas curahan hatinya menjadi korban”, ujar Wakil Ketua LPSK, Lies Sulistiani dalam keterangan tertilisnya diterima Kabarnusa.com, Kamis (18/6/17).
Kerentanan tersebut dapat dilihat dengan dijadikannya Nuril sebagai tersangka berdasarkan UU ITE karena merekam percakapan dengan Kepsek yang diduga menjadi pelaku pelecehan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa korban sangat mungkin diancam secara hukum.
“Padahal mestinya proses peradilan pidana menjadi sarana bagi korban untuk mendapatkan keadilan”, ujar Lies.
Lies menyatakan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan bahwa seharusnya, jika memang ada tindak pidana yang menimpa korban, yang diproses terlebih dulu adalah tindak pidana awal yg dialami dan dilaporkan korban tersebut. Baru kemudian tindakan pidana lain yang diduga dilakukan korban.
Dalam kasus Bu Nuril, seharusnya yang diungkapkan terlebih dahulu adalah dugaan pelecehan seksualnya, baru dugaan tindak pidana ITE. “Karena jika tidak, sama saja membenarkan korban untuk memendam saja peristiwa pidana yang menimpanya”, jelas Lies.
Dia berharap, aparat penegak hukum lebih bijak dalam menangani kasus ini. Yakni dengan jalan meminta keterangan korban terkait dugaan pelecehan seksualnya terlebih dahulu. “Jika memang benar terjadi pelecehan seksual, maka seharusnya perkara Bu Nuril sebagai tersangka Pidana ITE dikesampingkan dulu sembari dugaan pelecehan seksual diproses”, ujar Lies.
Selain kepada aparat hukum, kasus ibu Nuril juga harus menjadi pelajaran kepada masyarakat jika memiliki bukti suatu tindak pidana agar melaporkan kepada aparat penegak hukum. Dengan melaporkan kepada penegak hukum, maka status mereka sudah menjadi pelapor, saksi, dan atau korban.
“Dengan status tersebut, maka posisi mereka secara hukum akan lebih aman ketimbang jika tidak melapor atau jika menyebarkan bukti tersebut bukan ke penegak hukum”, pungkas Lies mengharapkan. Diketahui, Nuril, seorang pegawai SMA di Kota Mataram sebelumnya mengalami pelecehan seksual oleh oknum Kepala Sekolah tempatnya bekerja.
Nuril sempat pula merekam percakapan telepon berisi hubungan gelap Kepsek dengan perempuan lain. Rekaman kemudian beredar luas, Kepsek yang tidak terima akhirnya melaporkan Nuril. Nuril ditahan sejak Maret 2017 dan memancing reaksi masyarakat yang menganggap penahanan Nuril tidak adil. (des)