Macan Tutul Jawa di Ambang Kepunahan: Hanya Tersisa 319 Ekor, Pakar UGM Desak Aksi Konservasi Lintas Sektor

Populasi diperkirakan 319 individu kurang dari 50 ekor diantaranya individu dewasa, status macan tutul ditetapkan Sangat Terancam Punah oleh IUCN.

25 November 2025, 15:06 WIB

YogyakartaMacan tutul jawa (Panthera pardus melas), satu-satunya kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa setelah punahnya harimau jawa, kini menghadapi ancaman kepunahan yang semakin genting.

Dengan populasi yang diperkirakan hanya sekitar 319 individu, dan kurang dari 50 ekor di antaranya adalah individu dewasa, status satwa endemik ini telah ditetapkan sebagai Critically Endangered (Sangat Terancam Punah) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Sebagai predator puncak, keberadaan macan tutul jawa berfungsi sebagai indikator vital kesehatan ekosistem hutan. Namun, Dr. Dwi Sendi Priyono, Dosen Fakultas Biologi UGM dan ahli DNA forensik satwa liar, menegaskan bahwa penurunan populasi ini bukan lagi fenomena biasa.

“Status endemik dan populasi yang kecil membuat spesies ini sangat rentan terhadap gangguan demografis, genetik, hingga tekanan manusia,” jelas Dr. Sendi dalam keterangannya  Selasa (24/11/2025).

Ia mendesak diperlukannya pendekatan respons yang integratif dan segera untuk mencegah penurunan lebih lanjut dan potensi kepunahan lokal.

Respons ini mencakup perlindungan habitat, mitigasi konflik, penegakan hukum, keterlibatan masyarakat, dan pemantauan ilmiah.

Kondisi macan tutul jawa semakin rumit karena distribusinya yang bersifat mosaik, kerap ditemukan di luar kawasan lindung.

Tantangan pendataan populasi yang akurat—mengingat sifat satwa yang elusif—tengah diatasi melalui survei komprehensif Java-Wide Leopard Survey (JWLS) menggunakan camera trap dan analisis genetik.

Sejumlah faktor utama mempercepat keterancaman satwa ikonik ini, antara lain:

Hilangnya Habitat: Konversi lahan masif mengurangi ruang gerak dan tempat hidup mereka.

Konflik Manusia-Satwa: Peningkatan interaksi negatif dengan masyarakat di sekitar hutan.

Perburuan Ilegal: Perdagangan bagian tubuh karnivora ini.

Penurunan Ketersediaan Mangsa: Overhunting atau wabah penyakit, seperti African Swine Fever (ASF) yang berdampak pada populasi babi hutan.

Konservasi In Situ Sebagai Solusi Utama

Menanggapi krisis ini, Dr. Sendi menilai strategi konservasi paling efektif adalah pendekatan In Situ (di habitat asli) pada skala lanskap. Ini penting mengingat macan tutul jawa hidup berdampingan dengan manusia.

Strategi yang didesak meliputi:

Melindungi patch habitat kunci.

Memperkuat jejaring kawasan lindung.

Mengelola wilayah non-lindung agar tetap berfungsi sebagai habitat fungsional.

Peningkatan kapasitas penegakan hukum dan monitoring berbasis sains.

“Strategi konservasi In Situ diutamakan, Ex Situ (di luar habitat asli, seperti kebun binatang atau penangkaran) sebagai pilihan pelengkap jika diperlukan,” tegasnya.

Sebagai penutup, Dr. Sendi menekankan, penyelamatan macan tutul jawa membutuhkan pendekatan multisektoral dan berjangka panjang. Kolaborasi antara akademisi, penegak hukum, pengelola kawasan, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk mencegah hilangnya predator paling ikonik di Jawa.

“Karnivora terbesar Pulau Jawa ini jangan sampai punah seperti harimau jawa atau harimau bali yang kini tidak dapat lagi kita saksikan secara langsung sebagai salah satu ‘kado’ alam untuk Indonesia,” pesannya. ***

Berita Lainnya

Terkini