Jakarta – Persaudaraan Tani-Nelayan Indonesia (Petani) menyoroti tugas besar yang harus diemban Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait pemberantasan mafia tanah menjelang masa transisi pemerintahan, yang terus merugikan masyarakat khususnya petani.
Hal tersebut disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Petani, Janudin yang menegaskan bahwa masalah ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup petani di berbagai wilayah, termasuk di Kabupaten Bogor.
“PR besar kementerian ATR/BPN yang saat ini dijabat Menteri Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merupakan masalah kasus pemberantasan mafia tanah di Indonesia”, katanya.
Kasus ini meresahkan petani dan pengembangan industri pertanian dalam menopang kemajuan pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
“Sungguh kasus mafia tanah sangat meresahkan, dan jelas mengganggu program kedaulatan pangan nasional”, ungkapnya.
Menurutnya, kasus yang paling banyak mencuat di Indonesia adalah masalah mafia tanah dengan penggandaan sertifikat tanah serta dokumen pertanahan lainnya.
“Modus tersebut dilakukan oleh oknum mafia tanah untuk memperkaya diri dengan cara tidak sah. Dalam banyak kasus, para petani menjadi korban karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka dalam mengakses hukum untuk melindungi aset tanah yang mereka miliki”, tandasnya.
Ia menyatakan bahwa mafia tanah kerap beroperasi dengan memanfaatkan celah dalam sistem birokrasi pertanahan.
“Mafia tanah ini bukan hanya soal individu-individu nakal, tetapi melibatkan sistem yang lebih besar, di mana ada indikasi keterlibatan aparat dan oknum petugas BPN dalam kasus penggandaan sertifikat,” ujarnya.
Keterlibatan aparat dan petugas BPN, menurutnya semakin memperparah keadaan di lapangan.
“Petani yang sudah terdesak dengan kondisi ekonomi kini semakin tertindas oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh para oknum yang seharusnya melindungi, dan akhirnya juga merusak iklim investasi di sektor pertanian,” imbuhnya.
Ia meminta agar Menteri ATR/BPN AHY dimasa akhir tugasnya segera mengambil langkah tegas untuk memberantas praktik mafia tanah ini.
“Dimasa akhir tugasnya, diharapkan Menteri AHY dapat memberantas mafia tanah, dan jadikan masalah ini PR yang harus dituntaskan pada periode kabinet berikutnya”, tandasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa tindakan tegas dari pemerintah sangat diperlukan untuk memulihkan hak-hak masyarakat, khususnya para petani yang dirugikan.
“Kami mendorong adanya reformasi di ATR/BPN daerah dan aparat terkait untuk memastikan tidak ada lagi ruang bagi mafia tanah”, tambahnya.
Ia mengungkapkan contoh adanya kasus mafia tanah di daerah Bogor tidak hanya terjadi di satu atau dua wilayah, tetapi merambah ke banyak daerah yang secara tradisional adalah lahan pertanian.
“Tentunya, hal ini menimbulkan keresahan bagi para petani yang khawatir tanah mereka sewaktu-waktu bisa diambil alih oleh pihak tak bertanggung jawab”, ujarnya.
Ia menegaskan bahwa jika masalah ini tidak segera diselesaikan, bisa berpotensi menimbulkan konflik agraria yang lebih besar.
“Seperti kasus di Bogor misalnya, ratusan bahkan ribuan hektare lahan banyak terdapat sertifikat kepemilikan ganda, namun pihak BPN setempat tidak mampu menyelesaikan persoalannya, padahal yang berwenang mengeluarkannya kan jelas dari pihak BPN itu sendiri”, tegasnya.
Menteri ATR/BPN sendiri telah beberapa kali menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia tanah, namun Ia menilai implementasi di lapangan masih sangat lemah.
“Kita ingin melihat tindakan nyata, bukan sekadar wacana. Sudah terlalu banyak petani yang menjadi korban dan kehilangan tanah mereka,” pungkasnya.***