AMLAPURA-Tradisi Perang Pandan kembali di gelar di Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem Bali. Tradisi unik karena dibalik tradisi itu ada makna nilai-nilai ketulusan warga sehingga selalu menyedot perhatian warga dan wisatawan yang berlibur di Pulau Seribu Pura.
Biasanya, prosesi perang pandan atau siat pandn atau “Makare Kare” digelar di depan Bala petemon Kaja melibatkan belasan Balasan pemuda adu tanding saling.
Mereka terlibat dalam aksi saling tebas dan geret dengan daun pandan berduri. Akibatnya, banyak badan mereka yang luka gores dan berdarah.
Menurut kepercayaan warga, darah yang mengucur inilah menjadi bagian dari Yadnya atau pengorbanan warga setempat untuk menghormati tradisi.
Seperti dituturkan, tokoh masyarakat Tenganan Penggringsingan Nengah Timur (60). Kata dia, Perang Pandan terkait dengan Ngusaba Sambeh.
Ngusaga Sambeh sendiri merupakan aci terbesar di Desa adat Tenganan. Aci ini sendiri digelar selama satu bulan penuh sejal akhir Mai lalu. Dalam Ngusaba Sambeh ini, dilakukan setiap tahun sekali dua kali bulan Juni dan sekali Bulan Juli. Sementara hitungan bulan menggunakan Kalender khusus Tenganan.
Perang Pandan dilakukan di depan Balai Temu Kaja. Sebelumnya digelar di Temu Kelod Rabo. Tradisi ini secara simbolis dilakukan para seke teruna atau kaum muda saja. Sementara pada perang pandan Kamis 7 Juni 2018, melibatkan juga warga Desa Tenganan.
Sebelum Perang Pandan diawali sangkepan Desa. Dimana warga Desa Tenganan duduk bersila di Balai Desa sambil didampingi jajanan. Bersamaan itu dilakukan upacara di Deha dengan Nuur Ide Betara di Pura Kubu Langlang, Naga Sulung dan dan Tegal Gimbal.
Timur mengungkapkan, saat perang pandan juga melambangkan ketulusan. Sehingga tidak ada dendam apalagi emosi. Semua dilakukan dengan suka cita.
“Ya mereka ini meyadnya dengan mengorbankan badan mereka di geret dengan pandan berduri,” ujar Timur
Sementara pandan yang digunakan sebagai senjata dalam megeret pandan khusus didatangkan dari Tenganan. Pandan ini dikeluarkan para teruna Desa.
“Tergantung jumlah teruna terkadang sama sama 200 lembar,” ujarnya.
Saat dilakukan tradisi ini, diiringi gambelan sacral Selonding. Bahkan untuk jadi juri gambel Selonding juga melalui proses ritual tertentu.
“Ini karena gambelan dari jaman Majapahit ini memang sangat di sakralkan di Tenganan dan beberapa Desa tua di Bali,” tuturnya.
Usai perang pandan, semua peserta teruna dan warga Desa melakukan makan bersama dengan megibung di samping arena geret pandan.
Nampak suasana ceria diantara merka sekalipun banyak tubuh mereka yang luka karna di geret lawan main saat mereka menjalankan tradisi unik tersebut .(rhm)