Media Sulit Jaga Netralitas dalam Peliputan Pilkada

3 Juni 2016, 21:24 WIB

Kabarnusa.com
Media massa dinilai sulit menjaga independensi dalam peliputan
Pilkada ketika berhadapan pemilik modal atau kepentingan kandidat yang membangun pencitraan lewat kerja sama atau iklan di media.

Dalam
diskusi publik tentang evalausi penyelenggaraan dan peran media dalam Pilkada di
Denpasar, beberapa pembicara dihadirkan, seperti Ketua KPU Bali Dewa Kade Raka
Wiarsa Sandi, peneliti Pusat Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan
jurnalis Rofiqi Hasan.

Dari penelitian yang dirilis TIFA dan Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) yang mengambil sampel dua media cetak,
Bali Post dan Radar Bali, menyoroti netralitas media sebelum dan setelah
masa kampanye selama berlangsungnya Pilwali Kota Denpasar 2015.

Salah seorang peneliti LSPP mengungkap, bagaimana media memposisikan sebagai partisan terutama selama Pilkada berlangsung.

Kedekatan pemilik media dengan para kontestan atau kandidat tertentu dan kebutuhan pragmatis terhadap pendapatan finansial, sering membuat media cetak lokal, melakukan langkah tidak independen.

Sementara menurut Rofiqi, hasil penelitian itu mengungkap banyak pemberitaan media tersebut yang memberi
porsi lebih besar atau lebih pro pada kandidat tertentu, dibanding
kandidat lainnya.

“Banyak pemberitaan yang tanpa konfrmasi ke narasumber atau pihak yang merasa disudutkan,” kata Rofiqi di Hotel Aston Denpasar Kamis (3/6/2016)..

Di mata Edison, jurnalis Koran Bali Tribune, dalam koteks bisnia media
sekarang, rasanya tidak mungkin atau sangat utopis berbicara netralitas
media.

Dia pesimis, media bisa menjaga indepensinya, apalagi jika
berhubungan dengan kandidat yang telah memasang atau membeli halaman,
untuk kepentingan pencitraan kampanye.

“Bagaimana bisa netral,
seorang jurnalis pada kesempatan yang sama dia harus menawarkan iklan,”
ucap jurnalis asal Manggarai Barat, NTT itu.

Kata dia, bagaimana
media bisa menjaga idealisme, keberpihakan kepada kepentingan publik
ketika masih dikuasasi kepentingan pemilik modal yang tak jarang mempengaruhi kebijakan media.

Apalagi, tak
sedikit pemilik media, juga terjun ke politik praktis dengan menjadi
calon legislatif atau calon bupati dan wali kota.

Soal netralitas
media, dalam pandangan Rofiqi, hal itu masih bisa diperdebatkan. Yang
penting menurutnya, netralitas itu sebaiknya sebagai niat baik disimpan
dalam hati.

Lebih penting dari itu, apakah jurnalis dalam
menjalankan profesinya bisa menerapkan tiga hal penting yang
diistilahkannya dengan kata ABC (akurat, berimbang dan credibel,).

Jika dalam
menjalankan profesinya sudah memenuhi kaidah jurnalistik, dan
menyandarkan pada kata ABC itu, menurutnya, hal itu sudah lebih baik.

Salah
seorang peserta diskusi yang mantan Calon Wali Kota Denpasar yang kalah
pada Pilkada lalu, Made Arjaya mengaku bagaimana kekuatan calon
incumbent demikian besar dalam mempengaruhi media.

Tidak hanya
itu, Arjaya juga menyodok peran lembaga negara seperti KPU hingga
Bawaslu, yang masih jauh dari harapan. Ketika ada persoalan kasus dalam
pelaksanaan Pilkada, yang sempat dia laporkan, tidak ditanggapi dan ditindaklanjuti secara serius.

Cilakanya,
kasus-kasus atau tindak pelanggaran atau kecurangan dalam pilkada itu
tidak mendapat perhatian media karena melibatkan calon-calon yang telah
memberi kontribusi pendapatan bagi media dengan membuat iklan kerja sama
atau advertorial. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini