Jakarta– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam perayaan ulang tahunnya yang ke-31 menyoroti meningkatnya tekanan terhadap kebebasan pers di tanah air.
Ancaman represi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), serta praktik swasensor menjadi isu utama yang disuarakan dalam perayaan bertema “Menjaga Independensi di Era Represi, Ancaman PHK dan Swasensor” yang digelar di Jakarta pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Tekanan Berlipat Ganda pada Jurnalis
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, mengungkapkan bahwa tekanan terhadap jurnalis dan media massa semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir, puncaknya terjadi menjelang dan sesudah pergantian pemerintahan.
Ia mencatat adanya 74 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024, yang berlanjut hingga delapan bulan pertama 2025. Bentuk kekerasan ini beragam, mulai dari penganiayaan, penyanderaan, hingga ancaman simbolis seperti pengiriman potongan tubuh hewan.
Tak hanya dari sisi keamanan, tekanan juga datang dari aspek ekonomi. Berdasarkan riset AJI, sebanyak 1.002 jurnalis dari 15 perusahaan media terdampak PHK.
Mirisnya, lebih dari 60% jurnalis yang di-PHK ini sebelumnya menerima upah di bawah UMR dan tidak memiliki jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan.
Nany Afrida menegaskan, “Kita mungkin tidak punya kekuasaan besar. Tapi kita punya suara, dan selama kita masih punya suara artinya kita tidak akan diam.”
Ia menekankan pentingnya pers untuk kembali pada fungsi utamanya sebagai kontrol sosial dan edukasi yang independen, sesuai amanat UU Pers No. 40/1999.
Pentingnya Independensi dan Profesionalisme
Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menambahkan bahwa gelombang PHK di media menjadi bukti ekosistem informasi publik sedang dalam kondisi kritis.
AJI pun mendesak pemerintah agar memberikan keberpihakan nyata untuk menjaga keberlangsungan pers profesional sebagai pilar keempat demokrasi.
Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, turut menyampaikan keprihatinannya.
Ia berpendapat bahwa pentingnya pendidikan jurnalistik yang intensif untuk menciptakan wartawan yang bukan sekadar pembuat berita, melainkan juga pemikir yang ikut membangun wawasan dan opini masyarakat.
Komaruddin mengutip sejarawan Yuval Noah Harari yang menyebut peradaban manusia dibentuk oleh news maker.
“Saya bangga dengan komunitas AJI yang masih menjaga idealisme, dan semangat belajar. Karena wartawan itu bukan sekadar membuat berita. Tetapi bagian dari pemikir, yang ikut membentuk, membangun dan membentuk opini dalam pembangunan bangsa,” ujarnya.
Apresiasi untuk Para Pejuang Pers dan Hak Asasi Manusia
Sebagai bentuk penghormatan, AJI memberikan tiga penghargaan utama kepada individu dan kelompok yang berani melawan tekanan dan berpihak pada kebenaran.
Berikut adalah daftar penerima penghargaan tersebut:
SK Trimurti Award: Diberikan kepada Yasinta Moiwend (60), seorang perempuan dari suku Marind-Anim, Papua Selatan. Ia dikenal gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan tanah ulayatnya dari proyek-proyek pembangunan, termasuk proyek food estate di Merauke.
Udin Award: Diberikan kepada dua jurnalis, yaitu Fransisca Christy Rosana dari Majalah Tempo dan Safwan Ashari Raharusun dari Tribun-Papua.com.
Keduanya dinilai berani dalam meliput isu-isu sensitif seperti penyalahgunaan kekuasaan, gizi buruk, rasisme, dan konflik di Papua.
Tasrif Award: Diberikan kepada LBH Padang dan Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI). LBH Padang diakui atas perjuangannya dalam membela hak asasi manusia di Sumatera Barat, termasuk kasus kematian Afif Maulana di Padang.
Sementara itu, SPCI mendapatkan penghargaan karena keberaniannya melawan pemecatan dan pemotongan upah sepihak oleh manajemen, yang berujung pada kemenangan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pada kesempatan yang sama, penghargaan juga diberikan untuk Karya Jurnalistik Pers Mahasiswa 2025 kepada Nadya Amalia Melani dan Putri Anggraeini dari lembaga pers Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. ***