Membongkar Mitos Kanker Payudara: Fokus pada Pencegahan dan Penanganan Efektif

Dalam upaya meningkatkan kesadaran, Dr. dr. IB Suryawisesa, SpB(K) dari RS Kasih Ibu menekankan penanganan efektif kanker dimulai pemahaman faktor risiko, bukan fokus pada penyebab tunggal.

13 Desember 2025, 20:22 WIB

DenpasarKanker payudara masih menjadi momok kesehatan global. Dalam upaya meningkatkan kesadaran, Dr. dr. IB Suryawisesa, SpB(K) Onk, Subspesialis Bedah Onkologi dari RS Kasih Ibu Saba, menekankan penanganan efektif dimulai dari pemahaman mendalam mengenai faktor risiko, bukan hanya fokus pada penyebab tunggal.

Dr. Suryawisesa menjelaskan faktor risiko kanker payudara dibagi menjadi dua kategori utama:

Tidak Dapat Dimodifikasi: Ini mencakup faktor genetik atau riwayat keluarga.

Dapat Dimodifikasi: Kategori ini berkaitan erat dengan gaya hidup (lifestyle), diet, merokok, konsumsi alkohol, dan paparan zat kimia tertentu.

“Kasus kanker payudara sebagian besar bersifat sporadik—bukan sepenuhnya karena genetik yang diturunkan. Artinya, faktor lingkungan, pola makan, dan gaya hidup memegang peran besar dalam peningkatannya,” tegas Dr. Suryawisesa dalam perbincangan baru baru ini.

Salah satu aspek krusial yang disorot adalah peran estrogen yang berlebihan. Estrogen diketahui berkaitan nyata dengan pertumbuhan sel.

Konsumsi estrogen berlebihan dari luar (eksogen) dapat memicu kekhawatiran, terutama dari makanan yang diproses atau dimodifikasi secara cepat.

“Makanan yang cepat panen atau mengandung zat pemicu pertumbuhan cepat, seperti pada beberapa produk ternak, bisa menjadi sumber estrogen eksogen. Jika dikonsumsi setiap hari, ini perlu diwaspadai,” jelasnya.

Dr. Suryawisesa juga mengoreksi pola pikir yang umum di masyarakat, yaitu baru mencari tahu pantangan makanan setelah diagnosis kanker ditegakkan.

“Jika sudah terjadi kanker, fokusnya adalah penanganan, bukan lagi mencari tahu penyebabnya. Pertanyaan ‘apa yang tidak boleh dimakan setelah kanker?’ adalah pola pikir terbalik. Kanker sudah terjadi, saat ini adalah waktu untuk pengobatan optimal,” ungkapnya.

Faktor risiko (penyebab) hanya bertanggung jawab atas sebagian kecil—sekitar 3-5% kasus—yang bersifat herediter. Untuk kasus sporadik (kebanyakan), yang dibutuhkan adalah pencegahan primer yang kuat dan terpadu.

Mengakhiri paparannya, Dr. Suryawisesa menyerukan perlunya pendekatan yang lebih terstruktur dan efektif untuk pencegahan di Indonesia

“Pencegahan kanker payudara harus menjadi gerakan dunia. Saran saya, perlu dibentuk Tim Khusus Pencegahan yang fokus dan terpadu. Pendekatan jalan-jalan (pencegahan) harus lebih efektif lagi, tidak bisa dilakukan sambil lalu. Ini adalah investasi kesehatan jangka panjang bangsa,” pungkasnya.***

Berita Lainnya

Terkini