Denpasar -Diskusi publik berjudul Dugaan Korupsi dan Masalah Pengelolaan LPD berangkat dari hasil liputan kolaborasi Klub Jurnalisme Investigasi (KJI) Bali membuka mata, butuh gerakan kolektif mengawasi LPD, khususnya dari krama adat.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Indonesia Corruption Watch (ICW dan BaleBengong, dan AJI Denpasar. Sebelumnya, para peliput KJI Bali mendapatkan pelatihan pendidikan antikorupsi dan peliputan investigasi dalam program SAKTI (Sekolah Anti Korupsi). SAKTI Bali dilaksanakan pada Februari 2024 lalu di Karangasem.
Tibiko Zabar sebagai Koordinator Kampanye Publik ICW mengungkapkan korupsi LPD di Bali telah terjadi sejak lama.
“Dugaan korupsi LPD di Bali sebetulnya sudah lama terjadi, bahkan kami di ICW sejak tahun 2018 sudah menemukan persoalan yang sama terkait pengelolaan LPD ini berulang,” ujar Tibiko di Kubu Kopi Selasa, 13 Agustus 2024.
Tibiko menambahkan kegiatan ini adalah rangkaian kolaborasi untuk menguatkan kerangka kerja pemberantasan korupsi. Data kasus korupsi di Indonesia tidak baik-baik saja.
Berdasarkan hasil pemantauan tren korupsi dari ICW, dari tahun 2022 ke 2023 ada peningkatan kasus korupsi. Pada 2022 ada 579 kasus 1.396 tersangka dan potensi kerugian negara Rp 42,7 triliun. Adapun di tahun 2023 ada 791 kasus, 1.695 tersangka dan kerugian negara Rp 28,4 triliun.
Tibiko menegaskan, partisipasi dari masyarakat sangat darurat untuk terlibat dalam mengawasi kebijakan publik. “Ditengah ketidak percayaan kita terhadap penegak hukum, masyarakat bisa mengambil peran dengan memberikan informasi dan melaporkan dugaan kejahatan publik, tidak hanya korupsi tetapi dalam kerangka yang lebih luas,” ujar Tibiko.
Acara diskusi dimulai pukul 16.15 WITA berlangsung di Kubu Kopi Denpasar. Diskusi dipandu oleh tim yang meliput dugaan korupsi di LPD yaitu Osila sebagai moderator.
Diskusi kali ini mengundang para narasumber yang berasal dari kalangan terkait dengan LPD, di antaranya Tokoh muda Desa Adat Ngis, Kadek Sudantara; I Ketut Madra sebagai petajuh Majelis Desa Adat (MDA) Bali sekaligus eks Ketua LPD Kedonganan; dan Ni Ketut Sudiani sebagai perwakilan Tim Liputan KJI Bali dengan topik korupsi LPD.
Kadek Sudantara, tokoh muda Desa Adat Ngis menjelaskan, ketika penyalahgunaan dana di LPD desa adatnya terkuak, berkali-kali ia mengusulkan agar sangkep (pertemuan) desa adat terjadi tetapi tidak pernah mendapatkan respon dari pucuk pimpinan desa adat.
“Saya mengusulkan dalam sangkep desa adat agar membicarakan kondisi LPD, tapi sampai sekarang tidak pernah ada,” tukasnya.
Sudantara adalah warga Desa Adat Ngis. Kesulitan yang dihadapi dirinya adalah tidak banyak warga yang berani, kalaupun ada kurang jumlah. Alhasil gerakan warga maju mundur. Ia berharap agar MDA dapat mengawasi LPD dan memfasilitasi aduan masyarakat.
I Ketut Madra, Petajuh MDA Provinsi Bali sekaligus eks Ketua LPD Desa Adat Kedonganan. Madra menjelaskan sejarah LPD di Bali yang diinisiasi oleh Gubernur Bali Prof Ida Bagus Mantra. Melalui terbitan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali No.972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Pada masa itu, LPD diharapkan dapat menunjang kelancaran perekonomian di daerah pedesaan, terutama dalam pemberian bantuan permodalan berupa kredit untuk para petani dan pengusaha kecil.
Sejak 40 tahun lalu dicetuskannya LPD, lembaga keuangan ini diakui milik Desa Pakraman kini dikenal dengan istilah Desa Adat, yakni kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa.
Kesatuan ini memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya. Pada laman resmi Badan Kerjasama LPD, diumumkan bahwa hingga Desember 2022, dari 1.485 Desa Pakraman, sebanyak 1.437 telah memiliki LPD. Total aset LPD di Bali mencapai Rp 25 triliun.
Namun pesatnya perkembangan lembaga ini dan dengan semakin banyaknya dana yang dikelola, berpotensi jadi celah korupsi. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), selama penyidikan tahun 2021-2023, kasus korupsi terbesar dilakukan oleh Ketua LPD Desa Adat Anturan, yakni Rp 151 miliar.
Bahkan, dari data yang dirangkum alumni SAKTI Bali, selama 2016-2020, aktor korupsi terbanyak adalah pengurus LPD, ASN, dan pengurus desa.
Madra menambahkan, tidak semua LPD memiliki tata kelola LPD melalui pararem. LPD ini mesti harus dilindungi dengan hukum adat. “LPD ini mendapatkan kekhususan dari Undang Undang Nomor 1 tahun 2013, disana dengan jelas ditentukan bahwa lumbung pitih nagari di Sumatra Barat dan LPD di Bali tunduk pada desa adat,” ujar Madra. Salah satu hal krusial yang harus tertera dalam pararem adalah manajemen risiko. Peran bendesa adat dalam tata kelola LPD sebagai pelindung aset desa adat dalam bentuk materiil maupun imateriil.
Jika ada masalah di desa adat ada langkah-langkah yang dapat dilakukan. LPD adalah lembaga khusus yang koletif milik desa adat. Hasil Paruman MDA baru-baru ini disebut salah satunya tentang tata kelola LPD.
Modus yang dilakukan terduga pelaku korupsi LPD menggunakan laporan fiktif. Sudiani menyebut banyak hal mengejutkan yang ditemui saat liputan, seperti audit LPD yang asal-asalan. “Hasil audit hanya satu lembar, kesannya hanya main-main tidak seperti audit sebenarnya,” ujar Sudiani.
Ia menyayangkan tujuan awal LPD yang awalnya mulia, tetapi asas kepercayaan masyarakat adat terhadap pemucuk adat justru jadi alat untuk memperdaya masyarakat adat. Kepercayaan tanpa kontrol menjadi dan pengawasan LPD yang minim jadi masalah korupsi menahun di LPD.
Hasil pemantauan dan pendataan ICW di Tahun 2023, laporan fiktif masuk dalam modus korupsi tertinggi di Indonesia. Tamimah Ashilah, Anggota Divisi Kampanye Publik ICW berharap diskusi ini dapat menjadi pemantik bagi warga desa adat lainnya untuk memulai gerakan pengawasan LPD di desa adat masing-masing***