Jakarta -Kabar duka menyelimuti dunia ekonomi dan politik Indonesia. Kita kehilangan seorang tokoh dan ekonom ulung, Kwik Kian Gie, yang perannya begitu besar dalam menjaga “check and balances” kebijakan ekonomi.
Kepergiannya meninggalkan lubang yang dalam, namun warisan pemikirannya akan terus relevan.
Di mata Didik J Rachbini, Ekonom Senior Indef, Rektor Universitas Paramadina), sosok wik Kian Gie adalah figur yang tak bisa dipisahkan dari peta pemikiran ekonomi Indonesia, terutama di era 1980-an.
Saat itu, kelompok terpelajar masih terbilang sedikit, namun Kwik sudah mencatatkan diri sebagai alumnus universitas ternama dunia, Nederlandse Economische Hogeschool di Rotterdam (kini Erasmus University).
Bekal pendidikan ini menjadikannya salah satu suara paling vokal.
Kritiknya yang tajam dan berani di media massa selalu didengar, bahkan mampu mengguncang kebijakan yang ada.
Memasuki era 1990-an, jumlah intelektual di bidang ekonomi dan politik semakin bertambah. Namun, banyak dari mereka memilih merapat ke pemerintahan Orde Baru.
“Tidak demikian halnya dengan Kwik Kian Gie,” tandas Didik J Rachbini dalam keterangan tertulis Selasa 29 Juli 2025.
Ia memilih tetap berada di luar, konsisten menjalankan peran pengawas informal, tak gentar mengkritisi kebijakan ekonomi yang dirasa keliru.
Dari sinilah muncul “Kelompok Ekonomi 30”, sebuah kumpulan pemikir independen yang tak henti menyuarakan kritik dan gagasan di media massa.
Di dalamnya ada nama-nama besar seperti Sjahrir, Rizal Ramli, Dorodjatun, Hendra Esmara, dan tentu saja Kwik Kian Gie sendiri.
Mereka menjadi oase pemikiran alternatif di tengah dominasi “Mafia Berkeley” yang saat itu begitu dipuja-puji, sebelum akhirnya ekonomi Indonesia terpuruk di tahun 1997.
Kata Didik J Rachbini, Kwik Kian Gie adalah salah satu ekonom dan tokoh publik yang memiliki perjalanan karir dan pemikiran yang begitu tajam, independen, dan kritis.
Ketajaman analisisnya tak hanya terlihat di masa Orde Baru, tetapi juga berlanjut hingga era Reformasi. Ia dikenal sebagai intelektual yang berani menyuarakan kebenaran, bahkan jika harus berseberangan dengan kekuasaan.
Meski sempat menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (1999–2000) di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (2001) pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, prinsip independensinya tak pernah luntur.
Lalu, apa warisan pemikiran yang ditinggalkan Kwik Kian Gie? Hingga kini, gagasannya tentang kedaulatan ekonomi tetap sangat relevan.
“Ia selalu menyerukan pentingnya kemandirian bangsa, agar tidak bergantung pada institusi seperti IMF atau terlilit utang yang bisa mengakibatkan subordinasi politik oleh kekuatan asing,” tuturnya.
Peringatan akan jebakan utang luar negeri adalah salah satu pemikirannya yang patut diwaspadai.
Ia juga tanpa ragu mengkritik oligarki ekonomi-politik dan pernah membuat heboh dengan kritik kerasnya terhadap “konglomerat hitam” – mereka yang besar karena lisensi negara namun justru merugikan rakyat.
Bagi Kwik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah separuh dari ekonomi bangsa dan merupakan instrumen krusial. Oleh karena itu, menjaga BUMN dan aset strategis bangsa adalah sebuah keharusan.
“Pemikiran ini kini relevan dengan kondisi sekarang, di mana BUMN seperti Danareksa (yang kini bernama Danantara) tidak boleh sampai gagal,” demikian Didik J Rachbini. ***