Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berharap pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2022 yang mencapai 5,44 persen agar terus dijaga.
Karenanya, Menkeu Sri Mulyani, bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo terus meramu kebijakan fiskal dan moneter yang fleksibel, namun pada saat yang sama juga efektif dan kredibel.
Dijelaskan, perekonomian Indonesia pada tahun 2022 tumbuh sangat baik yang antara lain terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2022 yang mencapai 5,44 persen.
“Angka tersebut berada di atas perkiraan optimistis pemerintah yang mematok pertumbuhan ekonomi kuartal II sebesar 5,2 persen,” tutur Menkeu Sri Mulyani usai Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Senin, (8/8/2022).
Pihaknya mendorong agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat terus dijaga, terutama berkaitan dengan faktor-faktor di sisi domestik karena situasi global penuh ketidakpastian. Diketahui, faktor dalam negerinya adalah konsumsi dan investasi serta belanja pemerintah.
Pada bagian lain disampaikan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2023 dirancang untuk mampu menjaga fleksibilitas dalam mengelola gejolak perekonomian dan ketidakpastian global.
Kondisi terjadi itu, disebut sebagai shock absorber. Di sisi lain, Presiden Joko Widodo meminta agar APBN dijaga supaya tetap kredibel dan sehat.
“APBN 2023 harus didesain untuk bisa mampu tetap menjaga fleksibilitas dalam mengelola gejolak yang terjadi, ini kita sering menyebutnya sebagai shock absorber,” ungkap Sri Mulyani.
Lanjutnya, Presiden Jokowi meminta agar APBN tetap dijaga supaya tetap kredibel dan sustainable atau sehat, sehingga hal ini adalah kombinasi yang harus dijaga.
Tahun 2022 dunia diproyeksikan akan mengalami perlemahan pertumbuhan ekonomi, sementara inflasinya meningkat tinggi.
Oleh karena itu, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi ekonomi global dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen untuk tahun ini dan dari 3,6 persen menjadi 2,9 persen untuk tahun 2023.
Kata Sri Mulyani, hal ini memiliki makna, bahwa lingkungan global akan menjadi melemah, sementara tekanan inflasi justru meningkat.
“Menurut IMF tahun ini inflasi akan naik ke 6,6 persen dari sisi di negara maju, sementara inflasi di negara-negara berkembang akan pada level 9,5 persen, ini juga naik sekitar 0,8 (persen),” ungkapnya.
Dengan adanya kenaikan inflasi yang sangat tinggi di negara maju, akan terjadi reaksi dari sisi kebijakan moneter dan likuiditas yang diperketat sehingga memacu apa yang disebut capital outflow dan volatilitas di sektor keuangan. ***