Yogyakarta– Di balik kokohnya sebuah bangsa, ada tangan perempuan yang menjaga integritasnya. Pesan kuat ini menjadi inti dari pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (8/12).
Menteri Arifah menegaskan perempuan bukan sekadar pendamping, melainkan fondasi utama dalam membangun benteng pertahanan melawan korupsi, yang dimulai dari unit terkecil masyarakat: keluarga.
Dalam Seminar Antikorupsi bertajuk “Integritas Perempuan sebagai Penyelenggara Negara dalam Melawan Korupsi”, Arifah mengapresiasi langkah KPK yang menggandeng perempuan sebagai aktor kunci pemberantasan korupsi.
“Perempuan adalah fondasi utama keluarga. Keluarga yang berintegritas harus dimulai dari rumah, dan perempuanlah yang menanamkan nilai-nilai itu. KPK sangat sensitif melihat bahwa untuk memberantas korupsi, perempuan harus dilibatkan,” ujar Arifah dengan penuh keyakinan.
Bagi Arifah, momentum Hakordia yang berdekatan dengan Hari Ibu membawa pesan moral yang mendalam. Ia menyebut korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap nilai amanah.
Ia mengingatkan setiap rupiah yang dikorupsi memiliki dampak nyata yang memilukan: merenggut hak pendidikan anak dan kesempatan hidup layak bagi kaum perempuan.
Tak hanya bicara soal integritas di podium, Menteri Arifah juga menyoroti aksi nyata pemerintah dalam menangani krisis kemanusiaan.
Di tengah duka banjir bandang yang melanda Sumatera Barat, ia memastikan bahwa kelompok rentan—perempuan dan anak—mendapat perhatian khusus.
Pemerintah bergerak taktis memenuhi kebutuhan spesifik yang sering kali terabaikan dalam situasi darurat.
Kebutuhan Reproduksi: Distribusi pembalut dan pakaian dalam untuk perempuan.
Nutrisi Anak: Penyediaan makanan khusus yang sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang.
Pemulihan Psikis: Layanan trauma healing yang telah diaktifkan sejak hari pertama bencana.
“Kami melakukan yang terbaik agar kebutuhan spesifik ini terpenuhi secara maksimal. Kolaborasi lintas lembaga—mulai dari TNI, Polri, Kemensos, hingga dinas terkait—terus bekerja di lapangan untuk memastikan para penyintas tidak berjuang sendirian,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Menteri Arifah mengajak seluruh perempuan penyelenggara negara untuk berani menolak “normalisasi” praktik yang salah.
Ia percaya pemimpin perempuan yang dibekali sensitivitas moral dan keberanian hati mampu menghadirkan perubahan besar.
“Perempuan memimpin dengan hati dan keberanian untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak semestinya. Itulah modal utama kita menjaga masa depan bangsa,” pungkasnya. ***

