Menteri Susi Prihatin Aksi Pengebom Ikan Mulai Rambah Raja Ampat

23 April 2019, 12:34 WIB
Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti

Kepulauan Selayar – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan untuk meninggalkan cara-cara penangkapan ikan yang merusak seperti menggunakan bom ikan dan portas seperti belakangan mulau menyebar ke Raja Ampat karena akan merusak ekosistem laut.

Susi menyampaikan itu, saat kunjungan ke Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu (21/4/2019).

Dari data KKP, Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar, di antaranya 260 jenis terumbu karang, 12 jenis lamun, ekosistem mangrove, pulau-pulau kecil nan cantik, termasuk atoll terbesar kedua di dunia, yaitu Taka Bonerate.

Dengan potensi tersebut, Kabupaten Kepulauan Selayar didorong mengoptimalkan potensi perikanan, pariwisata, dan potensi maritim lainnya.

Dalam hal pengelolaan potensi perikanan, selain Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, destructive fishin (penangkapan ikan dengan cara yang merusak) di Kabupaten Kepulauan Selayar menjadi salah satu isu yang sudah lama menjadi perhatian KKP.

Menurut Susi, sebagai negara kepulauan dengan luas perairan 71 persen dari luas negara, masyarakat Indonesia harus bangga, dapat kaya dan sejahtera dari sumber daya yang disediakan alam.

Namun menurutnya, kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam itu dapat menyebabkan apa yang dimiliki tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, laut sebagai salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dikelola dengan baik dan dijadikan masa depan bangsa.

“Saya yakin orang Sulsel ini sadar laut itu memberikan mereka hidup, laut membawa mereka ke mana-mana, dan mempunyai apa saja karena dari laut. Dan saya lihat salah satu wilayah Indonesia yang sadar itu adalah Sulsel,” selorohnya.

Dia menyayangkan masih maraknya praktik penangkapan ikan dengan cara yang merusak oleh masyarakat Sulsel pada umumnya.

“Di beberapa tempat saya datangi, di NTT, NTB, Maluku, dan lain-lain, kalau kita tanya ada yang ngebom ikan? Jawabnya, ada. Dari mana yang ngebom? Dari Sulsel,” lanjut Menteri Susi disambut gelak tawa hadirin.

Untuk itu, Susi berpendapat, praktik destructive fishing yang sering dilakukan masyarakat Sulsel harus diperbaiki agar tidak menambah kerusakan alam.

Karena daerah lain (red-lokasi tujuan penangkapan ikan oleh masyarakat Sulsel) sudah lebih dulu sadar (red-melakukan pelarangan destructive fishing), mereka (nelayan Sulsel) sekarang merusak tempatnya sendiri.

Selayar, Jeneponto, Taka Bonerate, Togean, dan Teluk Tomini adalah tempat-tempat yang sekarang jadi sasaran karena bagian lain sudah rusak.

“Bahkan, pengebom dan portas juga sudah sampai ke Raja Ampat. Dan suatu saat kalau terus berlanjut, saya yakin bahwa karang Indonesia ini bisa kurang dari 50 persen yang masih baik,” papar Menteri Susi.

Destructive fishing ini selain mengancam keberadaan ikan di alam, juga mengancam keberlanjutan terumbu karang. Pemulihan terumbu karang yang rusak akibat destructive fishing ini membutuhkan waktu yang sangat panjang.

“Recovery coral (pemulihan terumbu karang) ini tidak mudah karena satu tahun _coral_ itu hanya tumbuh paling kalau daerahnya subur airnya bagus 5 cm pun tidak. Rata-rata 1,5 – 2,5 cm saja. Dan coral pun akan terganggu karena cuaca. Jadi sebetulnya kalau kita merusak lagi, ya akan habis,” Menteri Susi mengingatkan.

Padahal, keberadaan terumbu karang ini sendiri sangat penting bagi ekosistem laut. Di terumbu karanglah ikan bertelur, beranak-pianak, dan berkembang biak. “Ikan sama dengan kita, mereka tidak mau pacaran di gelombang tinggi besar. Mereka akan cari tempat teduh untuk beranak pianak,” ucapnya.

Mereka juga seperti ibu yang melepas anaknya dengan kasih sayang dengan pengetahuan bahwa anaknya di situ akan aman. Tidak mungkin dia akan memijah di gelombang besar di EEZ (Exclusive Economic Zone) ujung atau di high seas (laut lepas).”

Dia mengajak masyarakat untuk mensyukuri kedaulatan Indonesia atas seluruh perairan di antara pulau-pulau Indonesia.

Menurutnya, hal ini bisa diperoleh berkat Deklarasi Djuanda pada tahun 1957 yang dicetuskan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang merupakan Perdana Menteri Indonesia pada saat itu. Sebelumnya, pulau-pulau di Indonesia di batasi oleh laut internasional.

KKP membuat aturan pembatasan kapal penangkap ikan berukuran maksimum 150 GT dan kapal penangkut maksimum 200 GT. Hal ini untuk mencegah agar ikan hasil tangkapan tidak langsung dibawa dan dijual ke luar negeri secara ilegal.

“Ada yang bilang, kalau begitu berarti membatasi kemajuan negara sendiri, lagian kita nangkapnya_ di high seas. Kalau di high seas, you) tidak perlu bendera Indonesia. High seas bukan milik negara mana pun. Tangkap saja di sana, silakan,” jelas Susi.

Pengaturan ini dianggap penting karena laut merupakan salah satu _renewable nature resources_ (sumber daya alam yang dapat diperbaharui) yang masih bisa dilestarikan, tidak seperti minyak dan tambang yang suatu waktu akan habis.

Namun, jika tidak dijaga dengan baik, sumber daya laut ini juga dapat habis dan tidak dapat dinikmati generasi mendatang.

Menteri Susi menyakini, penerapan _restriction_, _limitation_, dan _regulation_ pada pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui akan membuatnya lebih produktif. Oleh karena itu, beberapa daerah sudah menerapkan kearifan lokal sendiri dengan pengaturan sasi maupun hari libur menangkap ikan untuk menjaga produktivitasnya.

“Di Sulsel, ikan terbang banyak diambil telurnya. Kalau telurnya di ambil terus menerus tanpa libur, ikan terbangnya akan semakin berkurang, tidak ada lagi yang bisa diambil. Ikan terbang lain kan datangnya dari telurnya itu.”

Menteri Susi berpesan agar setiap kepala daerah yang berwenang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Ia meyakini, masa depan bangsa tidak boleh digadaikan dan tidak boleh dikavling-kavling. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini