Jakarta – Meskipun Indonesia secara geografis berada di posisi strategis kawasan Indo-Pasifik dan memiliki kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kenyataannya Indonesia masih belum mampu menandingi tekanan geopolitik yang datang dari Amerika Serikat (AS). Hal ini menunjukkan bentuk kekalahan strategis yang tak selalu tampak dalam bentuk konflik terbuka, melainkan lewat diplomasi tekanan, dominasi ekonomi, dan pengaruh kebijakan luar negeri.
Salah satu contoh nyata adalah kecenderungan Indonesia menerima berbagai paket kerjasama ekonomi atau militer dari AS yang sejatinya mengandung ketentuan berat sebelah. Misalnya, dalam kerja sama pertahanan, Indonesia dihadapkan pada ketergantungan teknologi militer dari AS tanpa alih teknologi yang memadai. Di sisi lain, dalam bidang perdagangan dan investasi, Indonesia sering kali menyesuaikan regulasi nasional untuk memenuhi standar AS, termasuk dalam isu lingkungan, keamanan siber, dan hak kekayaan intelektual sebuah indikasi bahwa kedaulatan kebijakan nasional belum sepenuhnya bebas dari tekanan geopolitik global.
Tekanan AS terhadap Indonesia juga semakin terasa dalam konteks perang pengaruh di Indo-Pasifik. Melalui berbagai forum seperti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), AS berupaya menata ulang rantai pasok global dengan menekan negara-negara mitra agar menjauhi Tiongkok. Indonesia, yang secara ekonomi sangat bergantung pada ekspor ke Tiongkok, berada dalam posisi diplomatik yang sulit. Di sinilah Indonesia tampak gamang alih-alih menjadi penyeimbang aktif, Indonesia justru kerap terseret dalam agenda politik kekuatan besar.
Lebih jauh, strategi luar negeri Indonesia yang mengusung prinsip “bebas aktif” semakin kehilangan tajinya karena minimnya keberanian mengambil sikap independen dalam isu-isu global seperti Palestina, perubahan iklim, atau netralitas teknologi digital. Padahal, kekuatan geopolitik tidak hanya ditentukan oleh letak geografis, tapi juga oleh konsistensi sikap politik dan keberanian menentukan arah kebijakan luar negeri sendiri.
Sebagai anak bangsa penulis menyajikan beberapa point kekalahan strategis indonesia sehingga tunduk terhadap geopolitik Amerika Serikat antara lain :
1. Indonesia kerap menyesuaikan kebijakan ekonominya agar selaras dengan tuntutan Amerika Serikat, seperti dalam perjanjian dagang dan standar lingkungan global. Contohnya Indonesia mencabut larangan ekspor nikel mentah setelah tekanan dari WTO yang dipicu oleh protes negara-negara Barat, termasuk AS yang berdampak Ketergantungan pada pasar AS melemahkan posisi tawar Indonesia dalam menjaga kepentingan industrinya sendiri.
2. Alih-alih membangun kekuatan pertahanan mandiri, Indonesia masih bergantung pada suplai persenjataan dan pelatihan dari AS tanpa alih teknologi signifikan. Pembelian pesawat tempur F-15EX dari Boeing tanpa strategi jangka panjang untuk kemandirian pertahanan nasional. Indonesia tetap menjadi konsumen teknologi militer Barat, bukan produsen atau mitra setara.
3. Prinsip politik luar negeri “bebas aktif” sering diterjemahkan sebagai sikap netral yang tidak progresif. Dalam konflik Laut Cina Selatan dan ketegangan Tiongkok-AS, Indonesia tidak memainkan peran aktif sebagai mediator kawasan. Indonesia kehilangan momen strategis untuk memperkuat kepemimpinan geopolitik di ASEAN.
4. Indonesia belum memiliki dokumen strategi geopolitik nasional yang jelas, sehingga respons terhadap tekanan AS sering bersifat situasional dan tidak terkoordinasi. Tidak adanya peta jalan kebijakan luar negeri yang sinkron antara sektor ekonomi, militer, dan diplomasi. Negara menjadi rentan terhadap tekanan kekuatan besar dan sulit memainkan posisi sebagai penyeimbang.
5. AS menekan negara-negara mitra, termasuk Indonesia, untuk menjauhi teknologi dari rival mereka seperti Huawei dari Tiongkok. Tekanan agar tidak menggunakan infrastruktur 5G dari Tiongkok dengan alasan keamanan nasional. Indonesia terseret dalam perang teknologi global tanpa kebijakan mandiri berbasis kepentingan nasional.
6. Indonesia sering absen atau ambigu dalam isu-isu global yang membutuhkan posisi moral dan politik yang tegas. Sikap lemah dalam menanggapi agresi Israel terhadap Palestina atau dominasi korporasi asing atas SDA Indonesia. Citra Indonesia sebagai pemimpin negara berkembang dan pelopor Global South semakin pudar.
7. Ketergantungan pada investor asing, termasuk dari AS, membuat Indonesia kurang berani mengambil keputusan berisiko yang bisa memicu “capital flight”. Banyak proyek strategis yang bergantung pada investasi luar negeri dan berisiko kehilangan kendali atas aset nasional. Kemandirian ekonomi terganggu dan membuat Indonesia rentan dikendalikan dari luar melalui jalur finansial.
Dengan demikian, kekalahan strategis Indonesia dalam menghadapi tekanan AS bukan hanya soal kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga lemahnya keberanian diplomatik, absennya strategi jangka panjang yang tegas, dan kecenderungan untuk bersikap pasif dalam konstelasi global yang semakin kompetitif. Jika Indonesia tidak segera memperkuat kemandirian strategisnya, maka peran geopolitiknya akan terus berada dalam bayang-bayang kekuatan asing, termasuk Amerika Serikat.***
Oleh : Moh Sahrul Lakoro, Wakil Direktur Veritas Institute , Kader HMI Cabang Limboto