Pada tanggal 1 Juli 2022 Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis kebanggaan rakyat Indonesia telah menanggapi kekhawatiran Presiden terkait membengkaknya alokasi subsidi energi yang sejumlah Rp502,4 Triliun.
Tanggapan cepat jajaran Pertamina melalui PT. Pertamina Patra Niaga (subholding C&T) itu ditindaklanjuti dengan memberlakukan kartu aplikasi MyPertamina untuk ujicoba pembatasan penggunaan BBM subsidi, khususnya Pertalite pada 10 kabupaten/kota di 5 (lima) Provinsi.
Berselang seminggu pelaksanaan ujicoba pembatasan BBM bersubsidi melalui pendataan partisipatif konsumen ini, Pertamina kemudian kembali menaikkan harga BBM non subsidi dan berlaku mulai hari Minggu tanggal 10 Juli 2022. Adapun BBM non subsidi yang harganya dinaikkan, adalah Pertamax Turbo dan Dex, termasuk juga elpiji nonsubsidi jenis Bright Gas.
Dengan demikian, harga Pertamax Turbo yang sebelumnya dijual Rp14.500 per liter sekarang menjadi Rp16.200 per liter, Pertamina Dex yang semula Rp13.700 kini menjadi Rp16.500 per liter, dan harga Dexlite dari Rp12.950 naik menjadi Rp15.000 per liter.
Kenaikan harga BBM non subsidi yang dilakukan oleh Pertamina ini sebenarnya merupakan diskresi (kewenangan otonom) BUMN berdasarkan ketentuan peraturan dan perUndang-Undangan yang berlaku mengingat pada bulan Juni 2022, harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) telah mencapai senilai US$117,62 per barrel atau lebih tinggi 37 persen jika dibandingkan dengan harga pada bulan Januari 2020.
Sedangkan harga elpiji berdasarkan Contract Price Aramco (CPA) pada bulan Juni 2022 lalu telah menyentuh angka US$725 per metrik ton atau lebih tinggi 13 persen jika dibandingkan harga rata-rata sepanjang tahun 2021.
Publik harus memahami kebijakan kenaikan harga BBM non subsidi disebabkan oleh adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan harga elpiji sesuai kontrak terhadap harga-harga BBM non subsidi dinegara-negara lain yang telah naik lebih tinggi dibandingkan harga BBM Pertamina.
Apalagi kenaikan ini diberlakukan hanya untuk BBM non subsidi yang porsi konsumsi produk Pertamax Turbo dan Dex Series hanya 5 (lima) persen dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan, porsi konsumsi produk elpiji nonsubsidi secara nasional hanya 6 (enam) persen dari total komposisi penggunaan elpiji oleh konsumen. Lalu, apakah ada pengaruh yang signifikan bagi kinerja Pertamina dengan menaikkan harga BBM non subsidi ini, sementara konsumsi terbesarnya adalah BBM yang bersubsidi, yaitu Pertalite?
Tentu saja secara mudah dapat diterka, bahwa kenaikan harga BBM non subsidi ini takkan berpengaruh pada kinerja Pertamina dalam menghasilkan laba/keuntungan. Akan berbeda halnya, apabila Pertamina melalui kebijakan pemerintah yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) memang berencana menghentikan peredaran dan penjualan BBM subsidi jenis Pertalite. Sebab, dalam perspektif menahan tidak jebolnya alokasi subsidi energi upaya Pertamina melalui kartu aplikasi MyPertamina yang dilakukan dengan model atau pendekatan partisipasi publik ini patut diapresiasi. Dimungkinkan akan secara efektif dan efisien mengendalikan konsumsi BBM subsidi dengan menjaring data konsumen yang menggunakan BBM subsidi dan memang berhak serta layak mendapatkan haknya.
Namun demikian, pemerintah juga harus menyiapkan skema yang sama dengan kebijakan pembatasan BBM subsidi atas kemungkinan adanya sebagian konsumen BBM non subsidi jenis Pertamax turbo dan Dex Series berpotensi migrasi ke Pertamax disebabkan oleh kemampuan daya beli yang semakin menurun. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah melalui Kementerian ESDM mempertimbangkan opsi atau pilihan yang lebih masuk akal atau rasional dalam rangka menahan tidak jebolnya alokasi subsidi energi yaitu melalui pendekatan marketing mix dengan mendekatkan atau membuat tipis selisih harga jual Pertalite dan harga jual Pertamax.
Last but not least, sebagai BUMN Pertamina telah berupaya menindaklanjuti kekhawatiran Presiden Joko Widodo agar alokasi subsidi energi tidak jebol dan itu langkah profesionalisme badan usaha. Selain itu, model pembatasan melalui kartu aplikasi ini arahnya adalah bentuk participatory planning dalam penggunaan tools MyPertamina, dan harapannya akan muncul participatory controlling (pengendalian partisipatif) juga dari publik. Sebab, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) tak bisa diharapkan banyak oleh publik menjalankan tugas pokok dan fungsinya. ***
Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta