MPBI DIY Tolak Keras Perjanjian Dagang RI-AS: Dinilai Rugikan Buruh dan Petani

Majelis Pekerja Buruh Indonesia DIY menolak perjanjian dagang bilateral Indonesia- Amerika Serikat yang baru-baru Ini diumumkan Presiden AS.

20 Juli 2025, 04:21 WIB

Yogyakarta – Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) menyatakan penolakan tegas terhadap perjanjian dagang bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden AS.

Perjanjian tersebut dinilai timpang dan berpotensi merugikan buruh, petani, serta industri nasional dalam jangka panjang.

Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 18 Juli 2025, menyebut isi perjanjian yang membuka penuh pasar Indonesia untuk produk AS sebagai bentuk “penjajahan ekonomi gaya baru” yang mengabaikan prinsip keadilan perdagangan.

“Perjanjian ini sangat tidak adil. Di satu sisi, Indonesia akan membeli produk energi, pertanian, dan 50 unit pesawat Boeing senilai hampir 20 miliar dolar AS. Namun, ekspor kita ke AS tetap dikenai tarif tinggi hingga 19 persen, sementara produk AS masuk ke Indonesia tanpa hambatan apa pun,” jelas Irsad.

Ia menambahkan bahwa kesepakatan ini berpotensi mempercepat proses deindustrialisasi di Indonesia, menghancurkan daya saing petani lokal, serta melemahkan ketahanan energi nasional.

MPBI DIY juga memperingatkan bahwa puluhan juta pekerja dan buruh bisa terdampak akibat kebijakan ini.

Sehubungan dengan penolakan tersebut, MPBI DIY mengajukan empat tuntutan kepada pemerintah: peninjauan ulang perjanjian dagang dengan melibatkan serikat buruh, pelaku usaha, dan masyarakat sipil; moratorium implementasi perjanjian hingga ada kajian dampak yang menyeluruh dan transparan; jaminan perlindungan terhadap pekerja dan industri nasional; serta penolakan terhadap pembukaan pasar secara sepihak tanpa prinsip timbal balik yang adil dan setara.

Irsad menegaskan bahwa masa depan ekonomi Indonesia, khususnya bagi kelas pekerja dan sektor produktif nasional, tidak boleh dikorbankan demi kepentingan jangka pendek atau tekanan pihak luar.

“Negara harus berdiri di sisi rakyatnya, bukan tunduk pada tekanan dagang yang menciptakan ketimpangan baru,” pungkasnya.***

Berita Lainnya

Terkini