KabarNusa.com – Agar tetap bisa eksis dan berkembang di masa mendatang maka keberadaan museum harus bisa menjadi “living culture” atau bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Saat ini, ada kesan kurang menguntungkan bagi keberadaan museum seperti terkesan kuno dan hanya menjadi tempat menyimpan benda mati.
Untuk itu, museum harus dipadukan dengan nuansa entertainment sehingga bisa lebih aktual dan menarik minat pengunjung atau wisatawan.
“Perkembangan museum di Bali saat ini sudah sangat pesat dan pendiriannya pun jauh lebih mudah,” jelas Ketua Himusba Bali AA Rai saat konferensi pers di Rumah Wayang dan Topeng Setia Dharma, Ubud, Gianyar, Bali Sabtu (30/8/2014).
Kondisi ini, jauh berbeda dengan kondisi di era Tahun 1990, di mana untuk bisa mendirikan museum sangat sulit dan banyak kendala dihadapi.
Kata dia, ada banyak tantangan, seperti museum harus eksis untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.
“Museum harus menjadi Living Culture yang melibatkan masyarakat sekitarnya,” tandasnya lagi.
Karenanya, di Museum ARMA miliknya yang seluas 6 ha, dia berusaha mengkombinasikan dengan pertanian, pertunjukan tari dan kehidupan keseharian orang Bali.
“Manajemen museum juga harus memadukan dengan kegiatan yang mampu menghidupi museum secara finansial,” sambung Rai..
Dalam kesempatan sama, Sonny Tulung menegaskan, saat ini semua hal harus dikemas sebgai entertainment yang menghibur.
Untuk mewujudkan gagasan itu, Himpunan Museum Bali (Himusba) menggandeng Sonny Tulung untuk menggarap program bersama.
Karena itu bersama Himusba, dia merilis kerjasama melalui program “Morning Coffe at The Museum”.
“Ini adalah terobosan agar museum tidak identik dengan masa lalu tetapi menjadi inspirasi bagi sumber kehidupan masa kini,” ujarnya yang mendirikan Sekolah Public Speaking Team Communication di Bali.
Program ini berusaha mengemas museum sebagai sarana pendidikan tapi juga menyenangkan bagi pengunjungnya.
Mereka akan merasa nyaman dan terhibur dengan berbagai kegiatan. Bali, menurutnya, memiliki potensi itu karena jumlah museum yang mencapai 33 museum dengan kekayaannya masing-masing.
Gagasan itu, kata dia, berawal dari keprihatinan karena museum makin jarang dikunjungi, khususnya oleh anak-anak muda.
“Mereka lebih suka ke mall. Bangunan-bangunan tua pun akhirnya dirubuhkan untuk pembangunan mall, ujung-ujungnya, anak-anak muda tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap sejarah bangsanya,” tutup dia. (gek)