Negara Terancam, Komduk Pertahanan Masih Tidur?

11 Mei 2025, 10:36 WIB

Jakarta – Ancaman terhadap pertahanan negara tidak selalu berbentuk serangan militer. Saat ini, bentuk-bentuk ancaman nonmiliter justru semakin nyata dan masif, namun sayangnya belum diimbangi dengan regulasi yang memungkinkan mobilisasi Komponen Pendukung (Komduk) secara payung hukum dan sistematis.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), Komduk adalah bagian dari sumber daya nasional yang digunakan untuk memperkuat Komponen Utama dan Cadangan. Mobilisasi Komduk, menurut aturan ini, hanya berlaku dalam keadaan darurat militer atau perang. Ini menjadi celah hukum yang sangat krusial, mengingat bentuk ancaman terhadap negara kini juga mencakup dimensi nonmiliter dan hibrida, seperti ancaman ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hingga teknologi dan keselamatan umum.

Urgensi itu makin tampak jika mencermati sejumlah peristiwa yang menunjukkan tiga bentuk nyata ancaman nonmiliter yang dihadapi Indonesia. Pertama, ancaman ideologi seperti yang terlihat dari keberadaan berbagai kelompok organisasi kemasyarakatan yang memiliki pandangan ideologi sendiri tanpa menjadikan Pancasila sebagai sumber ideologi berbangsa dan bernegara.

Kelompok ormas ini sangat masif dalam aktivitas penyebaran ideologinya, terutama melalui media sosial dan jaringan basis massa. Ini menjadi bukti bahwa ancaman terhadap Pancasila tidak pernah benar-benar hilang.

Kedua, ancaman politik yang tampak dari praktik politik uang dalam Pemilu dan Pilkada 2024. Politik uang bukan sekadar pelanggaran elektoral, melainkan bibit dari sistem KKN yang menggerogoti demokrasi dan kepercayaan publik.

Ketiga, ancaman keselamatan publik yang ditunjukkan oleh pandemi Covid-19. Krisis ini telah menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar, melemahkan ekonomi, dan mengganggu tatanan sosial. Ke depan, ancaman serupa sangat mungkin terulang.
Dalam konteks ini, mobilisasi Komduk menjadi krusial.

Kondisi ini sejalan dengan konsepsi teori keamanan manusia oleh Mahbub ul Haq (1994) yang menekankan pentingnya melindungi warga dari berbagai bentuk ancaman, bukan hanya dari perang. Selain itu, teori ancaman asimetris oleh Steven Metz dan Douglas V. Johnson (2001) menjelaskan bahwa negara-negara modern kini lebih rentan terhadap serangan nonkonvensional seperti terorisme, virus, dan disinformasi.

Bahkan, teori pertahanan total dari Linas Erikson dan Robert Egnell (2019) menegaskan bahwa pertahanan negara tidak cukup hanya dengan militer, tetapi juga membutuhkan mobilisasi seluruh komponen masyarakat, termasuk sipil.

Berdasarkan dinamika tersebut, pemerintah perlu bergerak cepat. Saat UU PSDN telah ditetapkan dalam Prolegnas DPR RI pada 19 November 2024, ini menjadi momentum untuk mengusulkan penguatan regulasi mobilisasi Komduk dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Universitas Pertahanan RI juga memiliki tanggung jawab strategis untuk menyiapkan magister hukum yang memahami aspek pertahanan secara multidimensi, agar proses legislasi didukung oleh SDM yang kompeten dan responsif terhadap dinamika ancaman modern.

Mempertimbangkan fakta dan konsepsi teoritis tersebut, mobilisasi Komduk tidak bisa lagi menunggu kondisi perang. Ancaman sudah hadir di depan mata, dan negara harus punya instrumen hukum yang memadai untuk menggerakkan kekuatan pendukung sebelum semuanya terlambat.***

Oleh: Muhammad Yahya, Peneliti Total Defense Strategic Center (TDSC).

Berita Lainnya

Terkini