Kabarnusa.com – Usia perempuan yang disapa Dadong Rindu ini teramat tua menginjak 80 tahun. Namun jangan tanya soal berkarya, dia merasa tak pernah mati. Bahkan, dia tetap ingin berkarya meneruskan warisan dari lelehur.
Bagi Warga Banjar Pasar, Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, Bali, nama perempuan yang memiliki nama Nyoman Senti ini, cukup dikenal, karena tetap eksis berkarya sebagai perajin tikar pandan.
Jika dilihat usianya, sebenarnya tubuh perempuang telah menjanda tiga kali itu masih terlihat masih sehat dan segar bubar.
Dadong Rindu yang tinggal sendirian di rumah sangat sederhana berukuran 4×5 meter bantuan dari PNPM.
Setiap pagi, dia selalu menyusuri pesisir pantai Yehembang guna mencari daun pandan berduri sebagai bahan dasar anyaman tikar.
“Tangan dan badan saya sering, kena duri pandan. Tapi itu tidak apa, karena sudah terbiasa. Hanya ini pekerjaan saya sehari-hari untuk menyambung hidup,” katanya lirih ditemui di rumahnya Senin (28/3/2016).
Dengan Bahasa Bali halus, Dadong Rindu mulai bertutur mengenai pekerjaannya sebagai perajin tikar dari daun pandan.
Menurutnya, keahlian sebagai perajin pandan, dia dapatkannya secara turun memurun dari nenek moyangdan hingga kini tetap dipertahankan dan ditekuninnya.
Dia mulai membuat tikar dari daun pandan sejak saya berumur 12 tahun dan sekarang berumur 80 tahun, pekerjaan itu tetap dilakoni.
Warga miskin ini menuturkan, tikar dari pandan tersebut biasannya dia pasarkan di Pasar Umum Desa Yehembang dengan harga Rp 15 ribu perlembar dengan ukuran tikar 1X1,5 meter.
Kesehariannya, hanya bisa menghasilkan dua lembar tikar, karena dia harus mengambil pekerjaan lain seperti memasak dan mencuci.
Terkadang pula, membantu tetangga untuk menambah penghasilan.
“Hasilnya tidak seberapa, tapi ini sudah tradisi leluhur kami dan wajib kami pertahankan. Zaaman sekarang sangat sedikit yang menekuni pekerjaan sebagai pembuat tikar dari pandan,” tukasnya.
Dalam membuat tikar dari daun pandan memerlukan proses panjang. Mulai mencari daun pandan, kemudian menghilangkan durinya untuk selanjutnya dijemur selama 10 hari dan setelah kering barulah bisa dianyam.
Pekerjaan ini memang sangat rumit, tapi dia senang melakukannya karena keahlian ini didapatkan dari leluhur.
Tikar buatannya, banyak dicari konsumen karena bisa tahan hingga satu tahun dan kebanyakan tikar buatannya digunakan sebagai sarana upacara keagamaan.
Sejujurnya, kata dia, lantaran harga tikar sangat murah, hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Guna menutupi kebutuhan keluarganya, dia membantu tetangga termasuk menjadi buruh tani.
Kini, di sisa hidupnya, Dadong Rindu tinggal seorang diri dan berjuang sendirian untuk menyambung hidup.
Sementara, semua anaknya tinggal jauh dengan keluarganya masing-masing.
“Dahulu saya tak punya rumah, syukur diberikan bantuan pemerintah. Namun hanya diberikan bahan-bahannya, untuk ongkos tukang ditanggung sendiri.
Dadong Rindu, adalah potret warga miskin di Bali, namun masih semangat hidupnya tak pernah mati. Bahkan, di usianya yang senja, teguh memegang warisan leluhurnya sebagai perajin tikar pandan, sebuah profesi yang mulai ditinggalkan di Bali. (dar)