Nilai Spiritual Pura Tergusur, Gede Pasek: Ini Alarm Bagi Bali

2 Agustus 2019, 00:00 WIB
Anggota DPD RI Gede Pasek Suardika

Denpasar – Nilai-nilai spiritual pura yang mulai tergusur karena berbagai perubahan zaman termasuk Kepentingan ekonomi menjadi alarm atau peringatan bagi Bali.

Hal tersebut disampaikan senator Gede Pasek Suardika saat saat menerima pengaduan sejumlah perwakilan warga dari Canggu, Kabupaten Badung, di Denpasar, Kamis (1/8/2019).

Dia mengingatkan, masyarakat Bali, lebih sadar akan tantangan lahan atau tanah-tanah di daerah itu yang memiliki nilai ekonomi tinggi telah mulai berdampak pada tergusurnya nilai-nilai spiritual pura.

Menurut dia, tanah-tanah yang memiliki nilai ekonomi tinggi telah berdampak tergusurnya nilai spiritual yang ada di Pulau Seribu Pura. “Bahkan sampai ada kasus perebutan lahan tempat suci karena kepentingan ekonomi,” kata Pasek Suardika.

Dalam kesempatan itu, sejumlah warga itu menyampaikan pengaduan soal Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, di Banjar Babakan, Canggu, Kuta, Kabupaten Badung yang terancam tergusur dan para “pangempon” atau penanggung jawabnya terancam kehilangan hak waris atas tanah dan pura itu.

Dikatakannya,semeton (warga) Bali harus mulai sadar bahwa tantangan Bali tidak hanya sekadar pendatang. Problem pendatang, kata dia hampir di negara-negara atau daerah maju pasti memiliki masalah sama.

Hanya saja, perebutan lahan, termasuk yang memiliki nilai spiritual karena kepentingan ekonomi harus mulai disadari. Dia mengingatkan jangan sampai masyarakat Bali karena sibuk dengan tradisi ritualnya, tetapi lupa untuk mengawal Parahyangan (tempat-tempat suci) yang ada.

“Ini sudah ‘alarm’ berbunyi, kalau tidak ada kesadaran dari warga Bali, maka Bali akan kehilangan ciri khasnya. Karena sejumlah pura dengan mudah digusur oleh kepentingan di luar kepentingan pura itu sendiri,” tandasnya.

Jika Pulau Bali sudah berubah, sudah kehilangan tempat-tempat sucinya, maka siapa yang mau datang lagi ke Bali. Bali dikenal dengan parwisata dan budaya karena tidak ada duanya di dunia, paling berbeda. Di India pun tidak ada seperti ini.

“Orang India saja ke sini untuk melihat Bali,” katanya mencontohkan.

Dalam pandangan Pasek, karena nilai ekonomi lahan di Bali yang tinggi, ancaman terhadap pura, juga datang karena penyaluran bansos dari para wakil rakyat yang dimanfaatkan untuk merenovasi pura.

“Memang masih sama-sama pura, tetapi nilai historisnya hilang, ukiran yang dibuat pada abad-abad dan fase tertentu hilang karena diganti dengan gaya kekinian untuk sekadar menghabiskan APBD lewat bansos,” urai mantan Ketua Komisi III DPR RI ini.

Sementara, menanggapi pengaduan warga dari Canggu, Kuta tersebut, dia berharap ada solusi terbaik. “Jadi bagaimana pura yang ada tetap menjadi pura, pelaba pura tetap menjadi pelaba pura dengan cara-cara yang lebih baik,” sarannya.

Pihaknya berharap, lembaga peradilan untuk tahap selanjutnya dalam menangani kasus ini yang berurusan dengan tempat suci yang memiliki sensitivitas, tidak menyamakan dengan kasus seperti eksekusi ruko atau gedung lainnya.

“Kalau ngomong Parahyangan tentang tempat suci itu luas, tidak hanya pangempon (warga penanggung jawab) di sana yang memiliki. Tetapi bisa lintas Bali, karena ikatan darahnya ada di sana,” sambungnya.

Mestinya, kearifan lokal dapat dijadikan pijakan juga oleh lembaga peradilan, sambil mencari solusi yang terbaik dan warga memperjuangkan keadilan dengan cara-cara terhormat. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini